Diam yang Mengerti

Raisya tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen yang harus diselesaikannya hari itu juga. Matanya lelah, jemarinya menari di atas keyboard tanpa jeda, sampai layar ponselnya tiba-tiba menyala — sebuah notifikasi baru muncul di tengah keheningan siang.

Dari: Aditia.

Rai, kamu ada bawa obat paracetamol nggak?

Pesan itu membuat Raisya berhenti sejenak. Ia mengetik cepat.

Duh, lagi nggak bawa sih. Kenapa? Kamu sakit?

Balasan datang tak lama.

Biasalah, hehe.

Ya udah, nanti aku titip Reza aja.

Raisya menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya membuka aplikasi Gojek. Tanpa berpikir panjang, ia memesan obat paracetamol lewat GoShop. Ia tahu, Reza—rekan sekantor mereka yang dititipi Aditia—akan lama datangnya. Entah mengapa, ada dorongan kecil di hatinya untuk memastikan lelaki itu segera membaik.

Dua puluh menit kemudian, obat tiba.
Raisya mengetik pelan:

Dit, tiba-tiba nemu ini di tas. Masih mau?

Ia mengirimkan foto paracetamol itu. Ia tak menyebut bahwa obat itu baru saja ia beli. Ia hanya ingin terlihat biasa, meski kenyataannya—ia terlalu peduli.

Balasan datang cepat.

Eh, aku udah titip Reza sih. Nanti nggak enak kalau nggak aku minum.

Oh yaudah. Nanti kalau perlu bilang aja ya, tulis Raisya singkat.

Namun di balik kata sederhana itu, ada getaran halus yang tak bisa dijelaskan. Ada sesuatu di antara mereka — ruang kecil yang hanya mereka berdua pahami, meski tak pernah diucapkan.

Aditia selalu mencarinya saat ada apa-apa, dan Raisya selalu siap menjadi tempatnya bersandar. Tapi di dalam hati kecilnya, Raisya tahu — ia tidak akan pernah menjadi lebih dari sekadar teman.

Beberapa jam kemudian, ponselnya kembali bergetar.

Rai, kayaknya aku mau deh punya kamu.

Aku ke sana ya, ambil obatnya.

Tak lama, lelaki itu benar-benar datang ke ruang kerjanya. Wajahnya pucat, langkahnya pelan.

Namun saat mata mereka bertemu, hanya percakapan singkat yang terjadi.
Selebihnya hanyalah diam yang menggantung — seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan, tapi tertahan di tenggorokan.

Kadang Raisya merasa, Aditia sengaja menjaga jarak ketika berhadapan langsung. Tapi begitu lewat pesan teks, lelaki itu berubah: hangat, terbuka, dan seolah tak ada batas. Dari situlah Raisya merasa memiliki dunia kecil yang tak bisa dijamah siapa pun.

Malam itu pikirannya kacau. Ia tahu Aditia tengah dekat dengan Zulfa, rekan sekantornya yang lain.
Namun mengapa setiap kali sakit, lelaki itu justru mencarinya?
Seketika, harapan kecil yang seharusnya padam, kembali menyala pelan.

Sore itu, Raisya pulang dengan langkah gontai. Wajahnya lelah, pikirannya penuh. Ia ingin menghubungi Aditia, tapi menahan diri. Ia takut terlihat terlalu peduli, terlalu melangkah jauh ke batas yang seharusnya tak ia lewati.

Sesampainya di rumah, sebuah pesan masuk dari nomor tak disangka.

Mba Rai, Mas Aditia sakit ya? Mba punya alamat rumahnya nggak buat aku kirim sesuatu?

Dari: Ayu — rekan dinas dari Surabaya, yang akhir-akhir ini juga tampak dekat dengan Aditia.

Raisya tersenyum kecil.

Iya Mba, tadi dia sempat minta obat, aku kasih paracetamol. Mau aku cariin tempat yang bagus buat kirim makanan?

Kayaknya roti aja deh, Mba. Soalnya kalau makanan katanya dia udah makan, balas Ayu cepat.

Raisya mencari toko roti terbaik dan mengirim tautannya.

Ini gimana Mba?

Wah boleh! Aku pesan ya. 

Ada rasa aneh yang menelusup di dada Raisya. Apa yang dilakukan Ayu kini adalah hal yang paling ingin ia lakukan juga — tapi tidak bisa. Dan entah kebetulan atau bukan, semesta seakan memaksanya untuk tetap terlibat, meski hanya dari balik bayang-bayang.

Oh ya Mba, jangan yang ada pisangnya ya. Mas Adit nggak suka yang berbau pisang, tulis Raisya lembut.

Oh gitu? Untung aja belum pesan. Aku soalnya suka banget pisang, jawab Ayu sambil tertawa.

Raisya hanya diam. Ia tahu setiap hal kecil tentang lelaki itu — makanan favoritnya, kebiasaannya, bahkan hal-hal yang mungkin tak disadari Aditia sendiri. Tapi semua itu hanya ia simpan sendiri.

Aku nggak ngerti, Mba. Mas Adit masih deket banget sama temen kantornya itu. Tapi ke aku juga intens banget, tulis Ayu lagi.

Raisya menarik napas panjang.

Aku yakin Mas Adit nggak akan deket sama dua perempuan sekaligus kalau udah punya komitmen. Mungkin dia masih nyari arah aja, balasnya.

Ia tahu Aditia. Ia tahu betul lelaki itu belum siap memilih.
Dan mungkin, Raisya hanya tempatnya bersandar sebelum akhirnya benar-benar menemukan rumah.

Malamnya, notifikasi baru muncul lagi.

Kerjaan Ayu nih, tulis Aditia, disertai foto kue dan catatan kecil: Cepat sembuh, Mas Adit. Kurangin kopi, rokok, begadang. Banyak istirahat dan harus happy.

Bagus dong, itu perhatian namanya, balas Raisya.

Bikin bingung sih, aku harus apa ya, Rai?

Raisya tersenyum getir.
“Itu keadaan yang kamu ciptakan sendiri,” gumamnya dalam hati.

Namun yang ia kirimkan hanyalah:

Aku ngerti kok posisi kamu. Tapi di sisi lain, Ayu juga bingung, tau.

Dia bilang apa? Kamu nggak cerita sama aku.

Raisya terkekeh.

Cuma bilang bingung aja. Tapi aku udah bilang ke dia kalau kamu sama temen kantormu itu cuma temen.

Iya, bener kata kamu. Aku sama Zulfa cuma temen. Chat aku sama Ayu lebih intens.

Raisya tahu, Aditia memang lebih cocok dengan Ayu. Ia tak pernah ingin menentang takdir — hanya saja, hatinya belum sempat ikut rela.

Kamu sibuk nggak, Rai?

Nggak, kenapa?

Nggak lagi sama suami dan anak kamu?

Pertanyaan itu menancap seperti pisau kecil.

Anak aku lagi main, suami aku masih di kantor, balasnya akhirnya.

Tak lama, panggilan grup masuk.
Nama di layar: Aditia & Ayu.

Halo…

Mba Raiii! suara Ayu riang.

Aduh kok aku diajak ke sini sih? goda Raisya.

Nggak tahu tuh, Mas Adit aneh-aneh, sahut Ayu sambil tertawa.

Ya udah, kalian ngobrol deh. Aku mau minum obat dulu, kata Aditia sebelum keluar dari panggilan.

Tinggallah dua perempuan itu berbicara — dua hati yang sama-sama menaruh rasa pada lelaki yang sama. Mereka tertawa, mengenang masa pelatihan, seolah tak ada apa-apa di antara mereka.

Mba Rai, aku tadi dikasih ngomong sama ibunya Mas Adit loh, kata Ayu riang.

Oh ya? Wah, udah selangkah lebih maju nih, sahut Raisya ceria, meski dadanya bergetar.

Enggak, ibu aku nanya kue dari siapa. Ya udah sekalian aku suruh Ayu bilang makasih, timpal Aditia dari seberang.

Raisya tertawa pelan, menutupi getir yang mulai naik ke tenggorokan. Ia tahu, ibunya Aditia pasti akan suka pada Ayu. Mereka sama-sama lembut, sama-sama sederhana.

Dalam hati, Raisya merasa lega — setidaknya jika bukan dirinya, semoga Ayu-lah yang akan menjaga lelaki itu.

Tak lama, suara langkah suaminya terdengar dari ruang tamu.

Nah tuh, suami kamu udah datang, ucap Aditia pelan.

Iya, dah ya, balas Raisya cepat, lalu menutup sambungan.

Malam itu, Raisya berbaring dalam diam. Hatinya lelah. Ia tahu semuanya salah, tapi perasaan bukan hal yang bisa dimatikan begitu saja. Ia ingin berhenti, ingin kembali utuh untuk keluarganya, tapi hatinya terlanjur retak di tempat yang salah.

Sebelum menutup mata, ia sempat mengetik pesan terakhir.

Jangan begadang. Kalau belum baikan, periksa ke dokter ya.

Sebuah perhatian kecil yang tak seharusnya ia tunjukkan — tapi tetap ia lakukan.
Lagi-lagi, ia kalah oleh perasaannya sendiri.

Dan di malam yang sunyi itu, Raisya hanya bisa berbisik dalam hati:
Andai aku belum menikah, mungkin semuanya akan berbeda.
Namun ia tahu — pengandaian seperti itu hanya akan membunuh dirinya pelan-pelan.
Karena bagaimanapun juga, sebelum Aditia hadir, ia sudah lebih dulu memilih takdirnya sendiri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ETHNIC RUNAWAY goes to BATULICIN-KOTABARU