Kosong yang Terasa Hampa
Raisa duduk termenung sambil perlahan mengaduk matcha yang baru saja ia buat di meja pantry kantor. Uap hangat naik perlahan dari gelasnya, menari di udara, namun pikirannya justru semakin tenggelam dalam keheningan. Ia bahkan tak menyadari seseorang menghampirinya.
“Rai,” suara itu memecah lamunan.
Raisa menoleh. “Eh, Dit.” Ia kembali menatap gelasnya, seolah warna hijau matcha itu bisa menenangkan isi kepalanya yang berantakan.
Aditia memperhatikan perempuan di depannya yang beberapa hari terakhir jarang terlihat di kantor. Ia tahu, Raisa sedang tidak baik-baik saja. Story WhatsApp-nya penuh kalimat-kalimat samar yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah merasa kehilangan arah.
“Kamu kenapa? Are you okay?” tanyanya lembut.
Pertanyaan itu membuat sudut mata Raisa basah. Entah kenapa, setiap kali ditanya begitu, ia merasa pertahanannya runtuh. Ia ingin kuat, tapi hatinya rapuh. Belakangan ini, ia merasa kosong. Rumah dan keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang, justru terasa asing.
Raisa tahu, perasaan itu bukan karena lelaki di depannya. Tapi sejak Aditia hadir, ia mulai menyadari sesuatu: kekosongan itu sudah lama ada jauh sebelum ia mengenal Aditia.
“Not okay, but it’s okay kok,” ucapnya pelan, lalu meneguk matcha latte-nya.
“Ga mau cerita?” tanya Aditia, masih dengan nada yang sama lembutnya.
Raisa tersenyum kecut. “Gapapa, Dit. Belakangan aku cuma ngerasa kosong aja. Gatau kenapa. Banyak hal yang ga bisa aku utarain. Semuanya numpuk di kepala. Capek.”
Ada banyak hal yang ingin ia katakan sebenarnya, tapi bibirnya kelu. Ia tak bisa jujur tentang perasaannya — bahwa salah satu penyebab kekacauan hatinya adalah kehadiran lelaki itu. Tapi ia juga tak sanggup menceritakan keadaan rumah tangganya yang kian hampa.
Aditia menatapnya dengan mata yang teduh. “Kamu boleh kok istirahat, Rai. Gak harus semuanya kamu pikirin. Aku aja yang liat kamu, capek banget rasanya.”
Raisa tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih tenang. “Capek yang aku lakuin itu buat ngelupain hal-hal di kepala. Aku lebih pilih capek badan daripada capek pikiran.”
Percakapan mereka berlanjut ringan sore itu. Obrolan kecil di antara dua orang yang saling memahami, tapi tak berhak memiliki. Di sela tawa dan keheningan, Raisa kembali merasa hangat — dan lengkap.
Aroma parfum Aditia yang familiar kembali menguar, membawa ingatannya pada momen-momen kebersamaan mereka yang tak seharusnya berarti. Hatinya berdesir, tapi juga menyesal. Ia menyesali keputusannya di usia 24 tahun dulu, keputusan untuk menikah tanpa benar-benar tahu mengapa.
Aditia menatap Raisa yang kini sibuk memainkan sendok di tangannya. Ia tampak berusaha menata diri, tapi dari caranya menarik napas dan memaksakan senyum, Aditia tahu perempuan itu sedang berjuang.
Ada sesuatu dari Raisa yang sulit ia jelaskan.
Bukan hanya sekadar rekan kerja atau teman ngobrol di pantry. Raisa punya cara menatap dunia yang tenang, lembut, tapi menyimpan luka di balik matanya. Dan entah sejak kapan, Aditia mulai terbiasa mencari sosok itu setiap kali hari-harinya terasa melelahkan.
Ia ingat bagaimana setiap kali berbicara dengan Raisa, semuanya terasa ringan. Tidak ada perasaan dihakimi, tidak ada tuntutan untuk selalu benar. Raisa selalu mendengarkan, betul-betul mendengarkan, tanpa mencoba memperbaiki atau menasihati. Hanya hadir — dan itu saja sudah cukup menenangkan.
Dalam hati kecilnya, Aditia tahu… perempuan di hadapannya itu memiliki banyak hal yang ia cari selama ini.
Cara Raisa memahami, caranya menahan emosi, bahkan caranya tertawa dengan mata yang ikut tersenyum, semuanya terasa pas. Terlalu pas.
Tapi setiap kali pikiran itu muncul, Aditia buru-buru menepisnya. Ia sadar, ada batas yang tak boleh ia langkahi. Raisa bukan perempuan yang bisa ia dekati, meski setiap obrolan kecil di antara mereka terasa seperti rumah.
Ia menatap Raisa sekali lagi, perempuan yang kini sedang berusaha tersenyum di tengah kekosongan hatinya sendiri. Ada dorongan kuat dalam diri Aditia untuk melindunginya, menenangkan hatinya, tapi ia tahu… perasaan itu berbahaya.
Karena semakin ia berusaha menjaga jarak, semakin ia menyadari:
bahwa rasa nyaman bisa jadi hal paling berbahaya di antara dua orang yang seharusnya tidak saling jatuh hati.
Dan sore itu, di antara aroma matcha dan suara mesin kopi yang samar, Aditia hanya bisa diam menatap Raisa sambil bertanya dalam hati,
apakah perasaan yang salah tetap disebut salah,
jika satu-satunya hal yang mereka temukan dari rasa itu adalah kedamaian?
***
Sejak sore itu, Aditia mulai menjaga jarak.
Bukan karena ia ingin menjauh, tapi karena ia takut — takut pada dirinya sendiri, pada rasa yang makin hari makin sulit ia kendalikan.
Setiap kali melihat Raisa lewat di lorong kantor, ada dorongan kecil untuk menyapa, menanyakan kabarnya, atau sekadar mengajak berbagi kopi seperti dulu. Tapi ia tahan. Ia tahu, satu langkah kecil bisa berubah jadi kesalahan besar.
Namun, tak ada satu pun jarak yang benar-benar bisa membuatnya berhenti memperhatikan.
Ia masih memperhatikan dari jauh — bagaimana Raisa tersenyum tipis di depan orang lain tapi matanya tetap sendu. Bagaimana perempuan itu bekerja terlalu keras, seolah ingin melupakan sesuatu. Dan bagaimana setiap kali ada rapat, ia memilih duduk di sisi yang jauh darinya, pura-pura sibuk dengan layar laptop.
Aditia sadar, Raisa sedang berusaha menjauh juga.
Dan entah kenapa, itu justru membuat dadanya makin sesak.
Ia menatap layar komputer yang menampilkan lembar kerja kosong, sementara pikirannya penuh oleh satu nama.
Raisa.
Perempuan yang datang tanpa diminta, tapi meninggalkan ruang di hatinya yang tak bisa diisi siapa pun lagi.
Pernah satu malam, Aditia membuka chat mereka. Percakapan yang dulu ringan dan hangat kini berhenti di titik hening. Ia menulis sesuatu di kolom pesan — “Kamu baik-baik aja, Rai?” — lalu menghapusnya lagi sebelum sempat dikirim. Ia tahu, kadang bertanya kabar pun bisa jadi bentuk egois jika niatnya hanya untuk menenangkan diri sendiri.
Di dalam hati, Aditia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya rasa simpati. Hanya empati seorang teman. Tapi setiap kali ia meyakinkan diri, hatinya menertawakannya balik.
Karena jauh di dasar pikirannya, ia tahu: yang ia rasakan pada Raisa sudah melampaui sekadar simpati.
Dan malam itu, sebelum memejamkan mata, Aditia berbisik pelan pada dirinya sendiri,
"Mungkin memang ada orang yang diciptakan untuk kita pahami, tapi bukan untuk kita miliki."
***
Sudah beberapa minggu sejak percakapan sore itu di pantry, dan Raisa mulai merasakan perubahan yang tidak bisa ia abaikan.
Aditia kini lebih banyak diam. Ia masih menyapa, masih bersikap sopan dan profesional seperti biasa, tapi ada jarak halus di antara mereka yang dulu tak pernah ada.
Raisa menyadari itu. Ia tahu Aditia sengaja menjaga batas. Tapi setiap kali mereka bertemu tatap — di lorong kantor, di ruang rapat, atau sekadar di depan mesin kopi — ada sekejap hening yang terlalu panjang untuk disebut kebetulan.
Raisa mencoba membiasakan diri. Ia memaksa dirinya sibuk, menumpuk pekerjaan, menulis laporan tanpa henti, hingga lupa makan siang. Tapi di sela-sela waktu kosong, pikirannya selalu kembali pada satu hal yang sama:
perasaan hangat yang dulu ia rasakan setiap kali berbicara dengan Aditia.
Bukan perasaan cinta yang menggebu, bukan juga rindu yang ingin dimiliki.
Lebih seperti rasa tenang yang sulit ditemukan di tempat lain — dan kini hilang begitu saja.
Kadang Raisa ingin marah. Bukan pada Aditia, tapi pada dirinya sendiri.
Karena mengapa ia bisa merasa kehilangan atas sesuatu yang bahkan bukan miliknya?
Suatu sore, saat ia sedang merapikan berkas di meja kerja, Aditia melintas. Hanya sekilas. Tapi cukup untuk membuat Raisa berhenti mengetik. Ada sesuatu di dada yang menyesak, seperti ada kata yang ingin keluar tapi tak pernah menemukan jalannya.
Ia menatap punggung lelaki itu menjauh dan tersenyum getir.
Mungkin memang begini caranya semesta mengingatkan: bahwa tidak semua rasa harus diperjuangkan. Beberapa cukup disimpan, diam-diam, dalam diam yang tidak pernah selesai.
Malamnya, Raisa menulis di buku catatannya kebiasaan lamanya yang hanya muncul ketika ia terlalu banyak berpikir.
“Ada orang yang hadir untuk membuat kita sadar bahwa hati bisa hangat tanpa harus dimiliki.
Dan mungkin, perasaan paling tulus justru adalah ketika kita rela melepaskan, demi menjaga yang tak seharusnya rusak.”
Raisa menutup bukunya, menatap langit-langit kamar, dan tersenyum pelan.
Ia tahu, perasaan itu nyata. Tapi ia juga tahu, kali ini ia harus belajar berhenti.
Komentar
Posting Komentar