Perjalanan Bertemu, Kamu

Langit Jakarta sore itu diselimuti kabut tipis. Matahari seakan enggan menampakkan sinarnya, hanya meninggalkan semburat hangat yang samar-samar menyentuh jendela pesawat. Dengan gerakan mulus, roda pesawat menyentuh landasan, seolah memberi salam hangat bagi para penumpangnya.

Raisya menatap keluar jendela, hatinya ikut bergetar bersama getaran kecil saat pesawat berhenti sempurna. Ada rasa lega sekaligus antusias yang bercampur jadi satu. Perjalanan dinas kali ini memang terasa berbeda. Bukan hanya karena kota tujuan yang selalu sibuk dan penuh cerita, melainkan karena ia tidak sendiri.

Di kursi sebelahnya, Aditia—rekan kerja yang selama ini hanya ia kenal sebatas urusan kantor—tampak sibuk merapikan tasnya. Sesuatu dalam diri laki-laki itu akhir-akhir ini membuat hidup Raisya seperti berwarna lebih terang. Ia sadar, status mereka jelas: hanya sebatas rekan kerja. Namun, entah kenapa, kehadiran Aditia selalu memberi ruang hangat di hatinya, ruang yang sulit ia abaikan.

Tatapan itu. Raisya bahkan tak bisa menolak hangatnya. Hanya sekejap bertemu dengan mata lelaki itu, dadanya terasa lebih ringan, seolah segala resah mendadak menemukan tempat untuk beristirahat. Perhatian-perhatian kecil yang mungkin bagi orang lain tampak sepele, justru baginya membuka ruang yang begitu besar di hati.

Raisya tahu betul ia punya phobia pada ketinggian. Biasanya, setiap kali pesawat mulai mengudara, tubuhnya dilanda gelisah yang sulit dikendalikan. Namun hari itu berbeda. Ketika Aditia mengetahui ketakutannya, ia tidak menertawakan, tidak pula menyepelekan. Lelaki itu justru memilih menemaninya berbincang sepanjang perjalanan. Dua jam penuh, mereka bercakap tentang apa saja—dari hal-hal sepele di kantor, sampai impian-impian masa depan yang jarang diungkapkan.

Raisya sadar, Aditia sedang mengorbankan sesuatu. Wajahnya menyiratkan letih, lingkar hitam samar di bawah matanya bercerita bahwa ia butuh tidur. Namun ia tetap bertahan, memilih menjaga Raisya agar tidak larut dalam ketakutannya. Dan di sanalah, di tengah riuh mesin pesawat dan dentuman samar udara, Raisya merasakan sesuatu yang tak biasa: hatinya perlahan mulai percaya, bahwa mungkin lelaki itu adalah ruang aman yang selama ini ia cari.


***


“Kamu kamar nomor berapa, Rai?” tanya Aditia sambil menenteng koper besar milik Raisya. Tangannya dengan mudah mengangkat beban itu, sementara mereka menaiki anak-anak tangga menuju lantai dua asrama.

“Nomor 228, Dit. Kamu berapa?” Raisya menoleh sekilas, napasnya sedikit tersengal.

“Aku 231. Oh, deket ini,” jawab Aditia sambil tersenyum, tepat ketika langkahnya terhenti di depan pintu kamar Raisya.

Raisya menerima kembali kopernya, menatapnya penuh syukur. “Makasih ya. Kamu mau apa? Tidur?”

“Iya, ngantuk banget nih.” Lelaki itu mengusap wajahnya, memperlihatkan jelas raut letih setelah perjalanan panjang. Raisya hanya bisa tersenyum lembut, ada rasa iba sekaligus hangat yang pelan-pelan tumbuh di dadanya.

“Yaudah, aku masuk ya. Kamu istirahat.”

Aditia sempat berbalik, seakan teringat sesuatu. “Kamu jadi mau keluar, Rai? Ketemu temanmu di mall itu?”

“Iya, jadi. Tapi mau bersih-bersih dulu.” Raisya jongkok, merapikan koper dan sepatu yang berserakan di depan pintu kamarnya.

“Oh, yaudah deh. Hati-hati ya. Di luar panas banget. Semangat.” Suaranya terdengar ringan, ditutup dengan tawa kecil yang menular.

Raisya ikut terkekeh sebelum akhirnya menutup pintu kamarnya. Namun detik setelah pintu itu tertutup, ia bisa merasakan sesuatu yang lain. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, kupu-kupu berterbangan di dadanya, hanya karena percakapan singkat di depan kamar barusan.

***

Usai mandi, Raisya duduk di tepi ranjang asrama dengan rambut masih basah, handuk kecil melilit di pundaknya. Baru saja ia hendak meraih hair dryer, ponselnya bergetar pelan. Sebuah notifikasi video call muncul di layar—nama yang selalu membuat hatinya luluh: Nasywa.

Seketika senyum lembut merekah di wajah Raisya. Dengan cepat ia menekan tombol terima.

“Bunda!” suara ceria itu menyambut, diiringi wajah mungil Nasywa yang memenuhi layar. Pipinya tembam, matanya bulat, seakan menyimpan dunia kecil yang begitu berarti bagi Raisya.

“Halo, sayang bunda…” suaranya bergetar, penuh rindu. Raisya merindukan aroma rambut anaknya, suara tawa renyahnya, juga hangat tubuhnya yang biasanya menempel di pelukannya setiap malam.

Tak lama, sosok lain muncul di samping Nasywa. Lelaki itu—suaminya. Dengan wajah sedikit lelah namun tetap hangat, ia menatap Raisya dari layar. “Hai, gimana perjalanannya? Udah sampai asrama, kan?”

Pertanyaan sederhana, tapi cukup untuk menyadarkan Raisya dari segala kupu-kupu yang sempat berterbangan di dadanya sore tadi. Dunia kecilnya, keluarganya, ada di balik layar itu. Tempat ia pulang, tempat hatinya seharusnya berlabuh.

Raisya tersenyum, meski ada sedikit getir yang bahkan ia sendiri tak bisa mengerti. “Udah, Alhamdulillah lancar...”

“Bunda kapan pulang?” suara Nasywa terdengar renyah, membuat Raisya terdiam sejenak. Pertanyaan itu sederhana, tapi selalu berhasil menancap dalam.

“Cepat kok, sayang. Beberapa hari lagi bunda udah di rumah lagi. Kamu jangan nakal, ya,” ujarnya sambil tersenyum, meski hatinya terasa perih karena jarak.

Nasywa mengangguk cepat, lalu memeluk layar ponsel, seakan pelukan itu bisa menembus jarak ribuan kilometer. Raisya tak bisa menahan senyum haru.

“Udah makan, Rai?” suara suaminya terdengar kemudian. Tenang, penuh perhatian, suara yang selama ini selalu jadi jangkar Raisya di tengah kesibukan.

“Udah. Tadi di bandara sempat makan sama teman kantor,” jawabnya singkat. Ia berusaha menjaga nada suara tetap stabil, seolah tak ingin ada yang membaca isi hatinya.

“Yaudah, jangan kecapekan. Istirahat yang cukup. Kami baik-baik aja di rumah, jadi kamu fokus aja sama tugasmu,” kata suaminya menutup, sebelum Nasywa kembali menyela dengan, “Bunda, love youuuu…”

“Love you more, sayang…” Raisya membalas dengan suara bergetar, lalu panggilan itu terputus.

Hening.

Raisya meletakkan ponselnya di meja, menatap pantulan wajahnya di layar yang telah redup. Hatinya hangat—namun juga kacau. Hangat karena ada keluarga yang menunggunya di rumah. Kacau karena… entah mengapa, ada sosok lain yang akhir-akhir ini hadir memenuhi ruang hatinya.

Ia menarik napas panjang, menatap langit-langit kamar. Apa aku hanya lelah? Atau… benar-benar sedang goyah?

Kupu-kupu di dadanya kembali berterbangan, kali ini bercampur dengan rasa bersalah yang tak bisa ia tolak.

***

Kegiatan itu berjalan dengan menyenangkan. Raisya mulai akrab dengan teman-teman dari berbagai daerah. Dua orang yang paling dekat dengannya adalah teman sekamarnya, Clara dan Ayu. Clara sendiri ternyata adalah sosok yang sejak awal selalu jadi bahan obrolan Aditia. Katanya, Clara itu cantik dan menawan. Namun, ketika Raisya akhirnya bertemu langsung dengannya, ia harus mengakui—Clara jauh lebih cantik daripada yang pernah Aditia gambarkan.

Di sela-sela kegiatan, Raisya iseng mengirim pesan lewat WhatsApp.
“Dit, Clara cantik banget in real life.”

Balasan Aditia muncul cepat.
“Iyakan? Duh, cocok banget kan sama aku?”

Raisya terkekeh membaca jawabannya.
“Yee… dia mau nikah kali bulan depan,” balasnya santai. Ia sudah cukup banyak ngobrol dengan Clara, saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing. Untungnya, baik Clara maupun Ayu sama-sama sosok yang asyik, membuat percakapan mengalir tanpa henti. Dalam waktu singkat, mereka bertiga sudah merasa seperti sahabat lama.

“Ya gapapa kali. Aku cari momen dulu sebelum dia nikah,” tulis Aditia jahil.

Raisya menggeleng pelan, terkikik sendiri.
“Anjir ya,” balasnya singkat.

“Tapi dia jual mahal juga sama aku, jadi kayaknya ga ada harapan,” lanjut Aditia.

Raisya hanya bisa menggerutu dalam hati. Ya iyalah, orang udah mau nikah, kocak.

Percakapan kecil semacam itu selalu berhasil membuat suasana di antara mereka terasa hangat. Ada sesuatu yang tak terucap, tapi diam-diam mereka sama-sama menikmatinya.

***

Keesokan harinya, kegiatan resmi dimulai. Entah kenapa, tubuh Raisya terasa kurang fit. Ia cepat lelah meski tidak melakukan aktivitas berat. Malamnya, saat semua sudah beristirahat, ia mengirim pesan ke Aditia.

“Kok capek banget ya, Dit,” keluhnya.

Balasan datang singkat.
“Bawa vitamin gak?”

“Lupa lagi bawa.”

“Besok aku kasih punya aku aja, minum Imboost ya,” tulis Aditia.

Keesokan paginya, saat sarapan di ruang makan, lelaki itu benar-benar menepati ucapannya. Dua keping Imboost ia letakkan di depan Raisya.
“Ini diminum, ya. Oh iya, satu lagi kasih ke Clara,” ujarnya santai sebelum berlalu.

Raisya mengangguk pelan. Ada rasa aneh menggelayuti dadanya. Padahal dia yang mengeluh semalam, tapi tetap saja Clara tidak pernah luput dari perhatian Aditia.

Malam harinya, saat Raisya hendak tidur, notifikasi ponselnya kembali berbunyi.
“Tadi sempet minum vitamin gak?”

“Udah kok. Tapi Clara gak aku kasih. Katanya dia ga biasa minum itu,” balas Raisya, seolah tahu bahwa yang benar-benar ingin dipastikan Aditia bukan dirinya, melainkan Clara.

“Oh gitu. Yaudah gapapa. Nanti tanyain aja lagi ke dia, soalnya kemarin aku tanya katanya dia mau.”

Percakapan pun berhenti di situ. Raisya hanya bisa menarik napas, menahan rasa yang sulit ia jelaskan. Untung saja malam itu ia kembali larut dalam obrolan seru bersama Clara dan Ayu, mencoba menepis gelisah yang tak bernama.


Hari demi hari berlalu. Raisya dan Aditia semakin sering bertemu karena berada dalam kegiatan yang sama. Malam hari mereka kerap bertukar pesan, sekadar membahas jalannya acara. Hingga tibalah waktu ujian asesmen. Aditia mendapat giliran pertama untuk presentasi, disusul Raisya, lalu Clara.

“Udah siap buat besok?” tanya Raisya, memastikan Aditia mempersiapkan dirinya.

“Bahan sih aman. Cuma… mental aku yang enggak,” balasnya.

“It’s okay. Semua bakal lancar kok.”

Malam itu, keduanya pun tertidur dengan harapan esok berjalan baik.

Keesokan paginya, Raisya sudah melihat Aditia mondar-mandir di ruang seminar. Wajahnya tampak tegang.
“Udah santai aja kali. Nih, makan permen dulu,” ucap Raisya sambil merapikan kertas di atas meja presentasi.

Mereka bertukar senyum, seolah saling meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Dan benar, presentasi mereka berjalan lancar.

Sepanjang hari, kelompok mereka ramai bercanda. Raisya sempat memperhatikan Aditia yang asyik berbincang dengan Ayu. Gadis Jawa itu memang tidak secantik Clara, tapi kelembutannya terpancar jelas. Pintar, tenang, dan punya aura keibuan yang membuat orang nyaman. Canda mereka berdua bahkan jadi bahan godaan teman-teman sekelompok. Raisya ikut menertawakan, meski ada rasa gusar yang pelan-pelan tumbuh dalam dirinya.

Malamnya, setelah ujian usai, Raisya, Clara, dan Ayu memesan pizza untuk merayakan kebebasan mereka. Saat ia turun ke lantai bawah untuk mengambil pesanan, ponselnya berbunyi.

“Rai, kamu ada obat buat perut gak? Tapi bukan obat datang bulan ya, hehe,” tulis Aditia dengan gaya bercandanya.

Khawatir, Raisya langsung membalas.
“Kenapa? Perut kamu kenapa?”

Barulah ia teringat, siang tadi Aditia sempat bilang tubuhnya agak panas, tapi mengira itu hanya kelelahan.

“Mual. Tadi udah minum paracetamol dua, Imboost satu,” jawabnya.

“Mual gimana? Perut sakit atau masuk angin?” Raisya bertanya lagi, tapi balasan tak kunjung datang.

Tanpa pikir panjang, Raisya bergegas mencari persediaan obat di kamarnya. Ia menemukan beberapa obat mual dan antangin, lalu berlari menuju kamar Aditia.

Tok-tok. Ia mengetuk pintu pelan. Tidak ada jawaban. Ia mencoba lagi.

Pintu terbuka. Aditia muncul dengan wajah sayu, hanya mengenakan kaos tidur dan sarung.
“Eh, Rai…” suaranya lemah.

“Kenapa? Mual banget?” tanya Raisya khawatir.

“Gatau, tiba-tiba aja.”

“Sakit perut atau masuk angin?”

Aditia menggeleng.
“Yaudah, ini aku bawain obat mual, sama antangin kalau ternyata masuk angin. Demam gak?”

“Enggak, cuma perutnya gak enak.” Ia menerima obat dari Raisya dengan tatapan lelah.

“Yaudah, diminum terus langsung istirahat, ya.”

Aditia menatapnya beberapa detik.
“Makasih ya, Rai. Kamu baik banget sampe nganterin. Semoga kebaikan kamu dibales yang baik lagi.”

Raisya hanya tersenyum hangat, lalu berbalik meninggalkan kamar itu dengan hati yang terasa hangat sekaligus berat.

***

Pukul empat dini hari, Raisya sudah terbangun. Dengan mata masih setengah berat, ia meraih ponselnya. Jemarinya lincah mengetik pesan.

“Gimana? Udah enakan belum?”

Pesan itu terkirim. Namun, hingga ia bersiap mengikuti kegiatan subuh di lapangan, balasan tak kunjung datang. Ada rasa cemas yang menggelayuti dadanya.

Usai aktivitas pagi, Raisya berpapasan dengan Ahmad, teman sekamar Aditia.
“Mas Ahmad, Mas Adit gimana keadaannya?” tanyanya penuh khawatir.

Clara dan Ayu yang berada di sebelahnya ikut menoleh, penasaran.
“Kenapa Mas Adit? Sakit?” tanya Clara.

Ahmad menghela napas. “Tadi masih tidur, Mbak. Dari tadi bolak-balik ke toilet, entah diare atau apa. Jadi aku suruh istirahat aja.”

Raisya tercekat, gusar tak keruan.

Sesampainya di kamar, ia segera mengirim pesan ke Ahmad.
“Mas, gimana? Apa katanya?”

Tak lama kemudian balasan datang.
“Katanya perutnya udah mendingan abis minum obat malam tadi. Gak ada demam.”

“Perutnya aman?” Raisya masih ingin memastikan.

“Katanya sakit perut sebelah kiri, padahal ga ada riwayat lambung,” jawab Ahmad.

Raisya teringat. Dulu Aditia pernah cerita, ia punya riwayat tipes. Jantung Raisya berdegup lebih cepat.
“Yaudah, suruh minum air putih yang banyak ya, Mas. Sama kalau ada apa-apa tolong kasih tau aku. Soalnya dia gak bales chat aku.”

“Siap, Mbak. Aman.”

Paginya ketika sarapan, Raisya bertemu Ahmad di ruang makan.
“Mbak Raisya, gimana ya, Mas Adit dianterin makan nggak?” tanya Ahmad.

“Eh, iya, anterin aja, Mas.” Raisya menoleh ke arah menu sarapan. Lontong berkuah santan pekat. Wajahnya berpikir.
“Mas, jangan kasih kuahnya deh. Terlalu berat. Ambilin lontong, tahu, sama ayamnya aja,” ucap Raisya pelan.

Ahmad mengangguk, mengikuti arahannya.

Siang itu, kabar cepat menyebar: Aditia absen dari jadwal kegiatan karena sakit. Pertanyaan pun berdatangan, terutama dari para perempuan. Raisya berusaha bersikap seolah tak tahu, menahan diri agar tidak membuat Aditia merasa risih. Namun akhirnya, ia juga ikut menjelaskan singkat bahwa Aditia sedang sakit. Dan benar saja, ekspresi teman-temannya seolah menyiratkan perhatian yang sama.

Menjelang sore, layar ponsel Raisya bergetar.
“Aman, Rai. Udah mendingan sakit perutnya,” muncul pesan dari Aditia, membalas pertanyaan Raisya yang ia kirimkan dini hari tadi.

Raisya tersenyum lega.
“Alhamdulillah. Ga demam? Atau diare?” tanyanya lagi.

“Ga, cuma masih sedikit sakit. Tapi udah mendingan dari kemarin malam.”

“Yaudah, istirahat aja. Mau minum obat lagi?”

“Boleh. Nanti pas aku masuk kelas aja sekalian minum lagi.”

Raisya menatap layar cukup lama. Ia bertanya-tanya, apakah perhatiannya terlalu berlebihan? Apakah Aditia merasa nyaman, atau justru terganggu? Tapi di sisi lain, ia tak bisa membohongi hatinya—ia sungguh peduli.

Saat coffee break, Raisya bahkan menitipkan snack beserta obat pada salah satu teman kamar Aditia. Tak lama, ponselnya kembali berbunyi.

“Makasih banyak ya, Rai…” tulis Aditia, disertai foto snack dan obat yang sudah ia terima.

Raisya terdiam. Ada perasaan campur aduk yang sulit ia definisikan. Ia merasa seperti ingin memutar waktu—andaikan saat itu ia masih sendiri, mungkin detik ini juga Aditia bisa menerima perasaan dan perhatian yang ia beri dengan ringan.

Di sisi lain, Aditia juga merasakan kehangatan itu. Ia paham, setiap pesan, setiap perhatian kecil dari Raisya bukanlah hal yang biasa. Hangat, nyata, dan begitu dalam hingga membuatnya tak bisa berpura-pura tidak paham. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa kasihan. Namun, justru karena itulah ia merasa sungkan. Ada batas yang tak bisa ia langgar.

Perhatian itu cukup membuat mereka berdua sadar—ada perasaan yang lahir di waktu dan tempat yang salah.

***

Hari terakhir kegiatan, Aditia akhirnya bisa ikut upacara penutupan. Raisya melihatnya lagi, tapi ada sesuatu yang berbeda. Lelaki itu tampak kaku. Beberapa kali mata mereka bertemu, namun Aditia cepat-cepat menoleh ke arah lain.

Raisya gelisah. Ia takut, perhatian yang ia berikan selama ini membuat Aditia tidak nyaman. Mungkin lelaki itu sadar—bahwa Raisya diam-diam menaruh perasaan yang tidak seharusnya ada. Dan Aditia memilih untuk menjauh.

Hingga sore menjelang, sikap Aditia tetap sama. Dingin, menghindar, seakan ingin menutup jarak. Raisya hanya bisa mencuri pandang, hatinya berkecamuk. Ia tidak ingin ada canggung di antara mereka, terlebih setelah ini mereka masih berencana memperpanjang waktu bersama di Jakarta.

Malam terakhir, Raisya dan Aditia ikut nongkrong bersama teman satu kelompok di sebuah kafe kecil dekat asrama. Raisya memperhatikan sesuatu yang membuat dadanya kembali sesak: Aditia tampak akrab dengan Ayu. Mereka bercakap hangat, bercanda, bahkan sesekali tertawa dengan nyaman.

Di saat itu juga, Raisya merasa tersadar. Perasaan yang ia simpan, yang selama ini membuatnya gusar, memang tidak ada artinya. Mungkin bagi Aditia, ia hanya angin lalu, sekadar teman bicara yang asyik. Dan ketika Raisya mulai menunjukkan perhatian lebih, justru itu membuatnya risih.


Usai kegiatan, mereka pindah ke hotel sesuai rencana awal—dua kamar terpisah. Namun sepanjang perjalanan, suasananya berbeda. Aditia yang biasanya ringan tangan membantu, kini tak lagi sama. Diam menguasai mobil. Setibanya di hotel, semua terasa hambar. Raisya kecewa, karena di hatinya ia berharap momen ini bisa menjadi waktu bersama yang lebih dekat. Tapi ia sadar, tak seharusnya berharap sejauh itu.

Sore harinya Raisya mencoba menghubungi.
“Kamu tidur?”
“Ga kok,” balas Aditia singkat.

Raisya mengetik lagi, ragu-ragu.
“Malam nanti mau kesini? Cari makan atau jalan aja.” Sambil mengirimkan rekomendasi mall yang tak jauh dari hotel mereka.

“Sama siapa aja?” tanya Aditia.

“Ya ga ada sih… kan yang lain udah pulang. Jadi paling kita aja.” Jawab Raisya canggung.

Balasan berikutnya kembali pendek. “Liat nanti deh.”

Raisya menatap layar ponselnya lama. Ada rasa kecewa yang menyesakkan dada. Padahal beberapa hari lalu, Aditia sendiri yang dengan mudah mengajaknya keluar, berjalan sambil berbincang ringan. Hangat. Dekat. Kini semua terasa asing.

Untuk menenangkan diri, Raisya melakukan video call dengan Nasywa, putri semata wayangnya. Senyum kecil gadis itu seakan menegurnya lembut, mengingatkan kembali siapa dirinya.

Tiba-tiba, sebuah pesan masuk. Dari Ayu.
“Mbak Rai, Mas Adit itu orangnya gimana sih, hehe?”

Darah Raisya berdesir. Ada sesuatu di balik pertanyaan itu.
“Ya, dia baik, laki-laki yang baik. Sholatnya juga bagus,” balas Raisya, mencoba tenang. “Emang udah chat-an, Mbak?” godanya, separuh ingin tahu.

“Udah, hehe…” balas Ayu singkat.

Dada Raisya bagai diremas. Ia membeku. Tidak pernah terbayang Ayu—yang ia anggap kalem dan mungkin jauh dari tipe Aditia yang selama ini ia tau—ternyata sudah dekat dengan Aditia. Ia mencoba menutupi luka itu dengan basa-basi, lalu cepat-cepat mengakhiri percakapan.

Perih. Itulah rasanya. Seperti patah hati yang nyata. Semua pertanyaannya terjawab. Sikap dingin Aditia belakangan ini bukan tanpa alasan.

Dalam gusar yang tak tertahankan, Raisya tanpa sadar meneruskan pesan Ayu itu kepada Aditia.

“Dari Ayu?” balasan datang cepat.
“Iya, hehe,” jawab Raisya, masih dengan sisa-sisa harapan.

“Aduh…” hanya satu kata. Lalu sebuah pesan masuk lagi.
“Rai, kamu mau aku kasih tau rahasia yang gak pernah aku kasih tau siapa pun? Kamu bisa jaga rahasia kan?”Jantung Raisya berdegup tak karuan. “Memangnya apa?”

“Aku lagi dekat dengan Zulfa.”

Bagai petir kedua kalinya. Zulfa—rekan sekantor mereka di kota asal. Raisya menahan napas. Ia tahu, Zulfa memang sepadan dengan Aditia: seumuran, sama-sama lajang. Tapi mendengar kenyataan itu langsung dari mulutnya tetap saja membuat hatinya runtuh.

“Terus kenapa deket juga sama Ayu?” tanya Raisya getir.

“Kita ketemu yuk. Aku jelasin,” tulis Aditia.

Malam itu, mereka duduk di taman hotel. Aditia bercerita panjang lebar. Tentang Zulfa, tentang Ayu, tentang kebingungan dan kebimbangannya. Ia bahkan membuka kisah keluarganya, percintaan masa lalunya, pandangannya tentang pernikahan, tentang masa depan yang ia sendiri masih ragu. Raisya hanya mendengarkan, menjadi tempat curhat, menjadi saksi dari setiap keraguannya.

Sambil tersenyum tipis, Raisya menahan getir. Di satu sisi ia lega karena dipercaya. Di sisi lain, hatinya makin teriris. Ia sama sekali tidak ada dalam pertimbangan Aditia. Semua perhatiannya, semua rasa peduli itu… seolah tak pernah sampai.

Dan mungkin memang begitu seharusnya. Takdir mereka berbeda. Tembok di antara mereka sudah terlalu tinggi.

Dalam hati kecilnya, Raisya ingin menyalahkan takdir. Seandainya ia masih sendiri, mungkin malam itu ia akan berani jujur. Mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan. Namun kini, yang bisa ia lakukan hanya satu: menutup rapat perasaannya, dan kembali pulang ke kehidupan nyata—kepada suami, kepada putrinya, kepada kenyataan bahwa perasaan hangat ini harus terkubur diam-diam.

Malam itu ditutup dengan cukup hangat, Raisya dan Adita menghabiskan waktu hanya mengobrol, dengan sisa-sisa kepingan yang ia rasakan, ia hanya ingin menjadi tempat lelaki itu bercerita, entah ia menganggapnya apa. Sisa-sisa malam itu menjadi kenangan manis yang tidak akan eprnah Raisya lupa. Wajah lelaki itu terekam jelas alam ingatannya, dibawah bias lampu kuning taman hotel, senyum dan perasaan itu semakin jelas hingga perlahan pun harus ia kubur dalam-dalam.

***

Pagi itu, mereka menempuh perjalanan pulang ke kota asal. Di bandara, Aditia kembali seperti semula—tenang, ramah, dan penuh perhatian dalam hal-hal kecil. Ia bahkan menemaninya sarapan, karena sejak malam sebelumnya Raisya belum menyentuh makanan apa pun.

Percakapan ringan, gurauan yang selalu nyambung, dan tawa-tawa kecil mengisi sisa waktu mereka. Bahkan di dalam pesawat, keduanya duduk berdampingan, seolah bisa mendengar degup jantung satu sama lain. Ada intensitas yang sulit dijelaskan, namun Aditia tetap memberi jarak—batas tipis yang seakan tak ingin ia langgar. Raisya tahu, ada hal besar yang menahan lelaki itu, sesuatu yang tak bisa mereka lawan.

Maka, perjalanan itu mereka nikmati dalam diam. Diam yang justru penuh arti, diam yang terasa seperti hitungan mundur menuju perpisahan.

Bersama Aditia, Raisya merasa benar-benar hidup. Ia kembali merasakan kupu-kupu di perutnya, menemukan sesuatu yang tak pernah ia dapatkan dari lelaki lain. Perasaan indah itu nyata, begitu lekat, hingga ia tak tahu bagaimana cara melupakannya kelak.

Namun di balik keindahan itu, ada getir yang menyayat. Kenyataan bahwa Aditia semakin dekat dengan Zulfa—teman sekantornya sendiri—membuat hatinya nyeri. Apalagi kabar bahwa kemungkinan mereka menikah sangat besar. Membayangkannya saja Raisya hampir tak sanggup. Bagaimana nasib hatinya nanti, ia tak tahu.

Meski begitu, jauh di lubuk hati, ia tetap mengharapkan yang terbaik untuk lelaki itu—meskipun itu berarti melepaskan dirinya.

***

Pesawat mendarat dengan hentakan pelan. Suara pengumuman pramugari menandakan perjalanan mereka benar-benar usai. Raisya menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh hatinya yang tak kunjung reda.

Di lorong kedatangan, langkah mereka masih berdampingan. Sesekali Aditia menoleh, melempar senyum tipis, seakan berkata tanpa suara: terima kasih sudah ada di sini. Raisya membalas dengan tatapan yang sama, meski dalam dirinya berkecamuk ribuan kata yang tak sempat diucapkan.

Sampai akhirnya, di titik perpisahan itu, dunia seakan berhenti. Ada banyak hal yang ingin Raisya sampaikan—tentang debaran, tentang ketakutan, tentang rasa yang tak bisa ia kendalikan. Namun yang keluar hanya kalimat sederhana, lirih, hampir tak terdengar,
“Jaga diri baik-baik, Dit.”

Aditia tersenyum. Senyum yang menenangkan sekaligus menghancurkan. “Kamu juga, ya.”

Tidak ada pelukan. Tidak ada genggaman tangan. Hanya jarak yang semakin melebar di antara mereka, hingga akhirnya bayangan Aditia hilang di keramaian bandara.

Raisya berdiri kaku. Ada perih yang menyesak, namun juga kebahagiaan samar karena ia pernah merasakan hidup sepenuhnya, meski sebentar.

Mungkin begitulah takdir. Beberapa orang hadir hanya untuk memberi jejak, bukan untuk menetap.
Dan jejak Aditia, ia tahu, akan selalu tinggal di hatinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ETHNIC RUNAWAY goes to BATULICIN-KOTABARU