Antara yang Terlihat dan yang Dirasakan

Hari-hari di kantor kembali berjalan seperti biasa, tapi tidak benar-benar sama.

Raisa mulai bisa tersenyum lagi di hadapan rekan-rekan kerja, seolah dirinya sudah baik-baik saja. Tapi setiap kali melihat Aditia lewat di depan mejanya, hatinya seperti ditarik mundur ke malam Jogja itu — ke jalanan sunyi yang diisi tawa mereka berdua, ke rasa hangat yang sampai sekarang masih menetap di dadanya.

Aditia kini lebih sering terlihat sibuk.
Tiap kali istirahat, ia duduk di pantry, menelepon seseorang dengan nada lembut.
Raisa tahu, itu Ayu.
Kadang ia bisa mendengar tawa kecil Aditia di seberang ruangan, dan entah kenapa, tawa itu terasa asing — bukan karena ia tak suka mendengarnya bahagia, tapi karena kini ia bukan lagi alasan dari kebahagiaan itu.

Suatu siang, Raisa baru saja kembali dari meeting. Ia melihat Aditia duduk sendiri di ruang kerja, memegang ponselnya sambil tersenyum kecil.
“Video call, ya?” tanyanya ringan, mencoba terdengar biasa.

Aditia menoleh, sedikit kaget.
“Eh, iya. Barusan Ayu nelpon. Katanya minggu depan dia ke sini.”

Raisa mengangguk, pura-pura sibuk menata berkas.
“Oh ya? Bagus dong, bisa ketemu langsung.”
Suaranya datar, tapi di dalam dirinya, ada bagian kecil yang seperti hancur pelan-pelan.

Aditia memperhatikan Raisa beberapa detik.
Ia tahu perempuan itu sedang menahan sesuatu, tapi ia juga tahu — tak ada lagi ruang untuk membahasnya.
“Rai…” katanya akhirnya, pelan.
“Hmm?”
“Thanks ya… udah mau dengerin aku selama ini.”

Raisa tersenyum tipis, tanpa menatap.
“Gapapa Dit. Aku cuma pengen kamu bahagia, itu aja.”

Kata-kata itu terdengar tulus, tapi di dalam hatinya Raisa tahu — ada bagian dari dirinya yang ingin menahan Aditia untuk tidak pergi terlalu jauh.
Namun ia sadar, perasaan seperti itu tidak boleh tumbuh di tempat yang salah.

Malamnya, Raisa duduk di ruang tamu rumahnya, lampu sudah diredupkan. Suaminya sudah tertidur, anaknya juga. Tapi pikirannya berkelana jauh — pada suara Aditia, pada perhatian-perhatian kecil yang kini hanya tinggal kenangan samar.

Sementara di tempat lain, Aditia menatap layar ponselnya setelah video call bersama Ayu.
Ia tersenyum, tapi entah kenapa, di sela-sela percakapan manis itu, wajah Raisa terus muncul di kepalanya.
Tatapan matanya saat bicara, cara ia tertawa kecil, bahkan aroma matcha latte yang sering menempel di bajunya.

Dan malam itu, Aditia akhirnya sadar — perasaannya sedang terbelah.
Antara seseorang yang sedang berjuang ia jaga di Surabaya,
dan seseorang yang diam-diam telah mengisi ruang sunyi di dalam dirinya di kantor yang sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ETHNIC RUNAWAY goes to BATULICIN-KOTABARU