Awal di Jakarta
Semuanya bermula jauh sebelum Jogja — saat dinas ke Jakarta, sekitar setahun lalu.
Raisa dan Aditia baru pertama kali satu tim waktu itu. Ia mengenal Aditia sebagai sosok yang tenang, humoris dengan cara yang tidak berlebihan, dan punya cara berbicara yang membuat orang merasa didengarkan.
Malam itu, setelah sesi pelatihan, beberapa rekan memilih makan malam di luar. Tapi Raisa yang sedang lelah memilih tinggal di hotel.
Aditia kebetulan juga tidak ikut, dengan alasan yang sama: capek.
Dan begitulah, dua orang yang sama-sama “capek” akhirnya duduk di lobi hotel, memesan kopi dan matcha latte — awal dari percakapan panjang yang tak pernah mereka rencanakan.
“Capeknya tuh bukan cuma badan ya,” kata Raisa waktu itu, sambil memutar sendok kecil di gelasnya.
Aditia menatapnya sekilas. “Capek pikiran?”
Raisa tertawa pelan. “Kayaknya lebih ke capek pura-pura kuat.”
Aditia tersenyum tipis, lalu menjawab,
“Kadang kita terlalu sibuk jadi versi kuat dari diri sendiri, sampai lupa kalau boleh kok keliatan rapuh.”
Sejak malam itu, entah kenapa, obrolan mereka selalu menemukan celah untuk berlanjut.
Bukan obrolan yang besar, tapi hal-hal kecil: musik, pekerjaan, kebiasaan aneh di kantor, sampai cerita tentang anak Raisa yang baru belajar bicara.
Dan di setiap percakapan itu, Raisa merasa ringan — seolah ada seseorang yang bisa memahami tanpa menilai.
Sementara Aditia, di balik tawanya, mulai sadar bahwa ada sesuatu dalam diri Raisa yang membuatnya nyaman: cara Raisa mendengarkan, menenangkan tanpa banyak kata, dan tatapan matanya yang teduh tapi kuat.
Malam-malam di Jakarta menjadi awal dari kebiasaan kecil mereka: saling berbagi cerita sebelum tidur.
Kadang lewat pesan singkat, kadang lewat telepon singkat yang katanya “nggak sengaja”.
Tak ada yang tahu, bahkan mereka sendiri.
Bahwa perasaan nyaman itu diam-diam tumbuh di tempat yang tak seharusnya,
dan kelak — di kota bernama Jogja — perasaan itu akan meledak menjadi sesuatu yang lebih sulit diatur.
Komentar
Posting Komentar