Hari-Hari Sendu

 Jam menunjukkan pukul 08.15 pagi. Kantor masih belum terlalu ramai, hanya terdengar suara mesin fotokopi dan langkah beberapa staf yang baru datang. Raisa baru saja menyalakan komputer ketika suara pintu utama terbuka.

“Aduh, macet banget dari bandara tadi,” suara ceria itu langsung membuat beberapa kepala menoleh.
Raisa mengangkat pandangannya—Ayu berdiri di depan pintu, membawa tote bag besar dan senyum lebar seperti biasa.

“Rai!” serunya, melambai kecil.
Raisa langsung berdiri dan tersenyum, berjalan mendekat. “Ya ampun, akhirnya balik juga kamu! Gimana Surabaya?”
Ayu tertawa, memeluk Raisa sebentar. “Panasnya nggak nahan, tapi seru. Banyak yang harus aku ceritain.”

Dari arah ruangan sebelah, Aditia baru keluar sambil membawa mug kopi. Langkahnya sempat terhenti saat melihat pemandangan itu—dua perempuan yang ia kenal dengan dua sisi hatinya yang berbeda, berdiri berdekatan sambil tertawa.

“Eh, Adit!” panggil Ayu begitu menyadarinya.
Aditia mengangkat tangan, tersenyum kecil. “Kamu udah balik, Yu.”
“Baru banget. Tadi hampir nyasar gara-gara sopir online-nya nggak tau jalan ke sini,” kelakar Ayu sambil tertawa.

Raisa menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresi yang bahkan ia sendiri tak tahu artinya. Seolah hangat, tapi juga perih dalam waktu yang sama.

“Gimana Jogja, Dit?” tanya Ayu kemudian, menatapnya dengan antusias.
Aditia terdiam sepersekian detik, cukup lama untuk Raisa tahu itu bukan jeda biasa.
“Jogja… tenang, banyak hal yang bikin mikir,” jawabnya akhirnya, datar tapi bermakna.
“Wah, filosofis banget jawabannya,” sahut Ayu, tertawa ringan.
Raisa hanya tersenyum kecil, berpura-pura sibuk merapikan meja. Tapi dalam dadanya, ada ruang yang tiba-tiba sesak.

Beberapa jam kemudian, saat jam istirahat, Ayu duduk di meja Raisa sambil makan bekal.
“Kamu tau nggak, Rai… Adit makin aneh deh. Kadang aku chat, balesnya lama. Tapi kalo lagi ngobrol, dia perhatian banget,” ucap Ayu setengah curhat.
Raisa menatapnya, menelan ludah pelan. “Mungkin dia lagi banyak pikiran, Yu. Kamu sabar aja.”
Ayu tersenyum tipis. “Iya, mungkin. Tapi kamu kan paling ngerti dia, ya? Sekantor, sering bareng dinas juga.”

Raisa tertegun sejenak, lalu menunduk. “Aku cuma teman kerja, Yu. Gak lebih dari itu.”
Tapi suaranya terdengar terlalu pelan untuk bisa terdengar meyakinkan—bahkan di telinganya sendiri.

Di kejauhan, Aditia memperhatikan mereka berdua dari balik kaca ruangan. Ia tersenyum samar melihat keduanya tertawa. Namun senyum itu pudar perlahan. Karena di balik semua yang tampak baik-baik saja itu, hatinya justru makin tidak tenang.

***

[Bagian: Setelah Jam Kantor — Di Parkiran]

Langit sore itu berwarna oranye keemasan. Sisa cahaya matahari memantul di bodi mobil-mobil yang berjejer rapi di parkiran. Suara mesin dan percakapan kecil pegawai lain satu per satu menghilang, meninggalkan suasana yang perlahan hening.

Raisa baru saja menutup pintu mobilnya ketika langkah seseorang terdengar mendekat.
“Aku sempat mikir kamu udah pulang duluan,” suara itu rendah, familiar.
Ia menoleh — Aditia berdiri beberapa meter di belakangnya, satu tangan memegang jaket, satu lagi menggenggam kunci motor.

Raisa tersenyum tipis. “Tadi sempat video call sama anak. Nggak tega langsung matiin.”
Aditia mengangguk, lalu mendekat beberapa langkah.
“Dia sehat?”
“Alhamdulillah, iya. Lagi suka nyanyi lagu anak-anak,” jawab Raisa pelan sambil tertawa kecil. Tapi tawanya cepat mereda, berganti diam yang panjang.

Mereka berdua berdiri di antara mobil-mobil kosong, hanya terdengar suara angin sore dan desah napas yang terasa terlalu dekat.

“Rai…” suara Aditia nyaris seperti gumaman. “Kamu baik-baik aja setelah dari Jogja?”
Raisa menghela napas pelan. “Baik. Tapi... ada hal-hal yang kadang susah dijelaskan.”
Aditia menatapnya lama, seolah mencari arti di balik kalimat itu.
“Hal-hal yang bikin kamu... ngerasa kosong?” tanyanya hati-hati.
Raisa menoleh, matanya lembut tapi rapuh. “Kamu tau jawabannya, Dit. Cuma aku gak bisa ngomong lebih dari itu.”

Hening lagi. Beberapa detik, tapi terasa lama.
Aditia menggenggam kunci motornya erat. “Ayu tadi cerita banyak,” katanya tiba-tiba.
Raisa menatapnya, menunggu kelanjutan yang tak juga keluar.
“Dia… kelihatan sayang banget sama kamu,” ucapnya akhirnya. “Dan dia percaya kamu teman yang paling bisa ngerti aku.”

Raisa menunduk. Ada rasa aneh yang menyelusup di dadanya—antara bangga, sesak, dan kehilangan arah.
“Dia perempuan yang baik, Dit. Kalau kamu bisa bahagiain dia, jangan ragu,” katanya lirih.
Aditia tersenyum tipis, tapi matanya tidak ikut tersenyum. “Kamu selalu ngomong kayak orang yang paling tau apa yang benar buat orang lain. Tapi buat diri kamu sendiri… kamu bisa?”

Pertanyaan itu menggantung. Lama.
Raisa menatap mata Aditia — ada banyak kata yang ingin diucapkan, tapi tak satu pun bisa keluar tanpa membuat segalanya runtuh.

“Aku harus pulang,” katanya akhirnya.
Aditia mengangguk pelan, lalu bergumam, “Iya. Hati-hati, Rai.”

Raisa masuk ke mobil, tapi belum menyalakan mesin. Ia hanya duduk di sana, menatap bayangan Aditia yang berjalan menjauh.
Dalam kaca spion, ia bisa melihat sosok itu menatap langit sore sejenak sebelum mengenakan helm.

Dan di antara warna jingga yang mulai memudar, mereka berdua sama-sama sadar—
beberapa perasaan memang diciptakan bukan untuk dimiliki,
tapi untuk disembunyikan… dengan cara paling tenang yang mereka bisa.

***

Hari-hari di kantor kembali berjalan seperti biasa — atau setidaknya terlihat begitu dari luar.
Namun di antara rutinitas, ada hal-hal kecil yang terasa berbeda: cara Raisa menghindari tatapan, cara Aditia menahan diri untuk tidak terlalu sering menyapa, atau cara mereka pura-pura sibuk setiap kali berada di ruangan yang sama.

Siang itu, Raisa sedang mengetik laporan ketika tawa kecil terdengar dari arah pantry. Suara Aditia, bercampur dengan suara Zulfa.
Ia tak bermaksud mendengarkan, tapi kupingnya seperti otomatis menangkap potongan obrolan mereka.

“Nanti tolong bantu aku revisi, Dit. Aku takut salah format.”

“Iya, gampang. Ntar sore aku bantuin, santai aja.”

Nada suara yang ringan itu membuat Raisa menahan napas sejenak. Ada sesuatu yang menggelitik perasaannya, meski ia tahu tidak seharusnya.
Ia menatap layar laptopnya, tapi pandangannya kabur.

Aditia menepati janjinya — sore itu, ia memang duduk di meja Zulfa, membantu merevisi berkas presentasi. Dari jauh, Raisa hanya bisa sesekali mencuri pandang, memperhatikan mereka berbincang dengan akrab.
Ia tahu persis, Zulfa perempuan yang baik. Lembut, supel, dan selalu membuat suasana jadi ringan. Tapi justru itu yang membuat hatinya terasa lebih berat.

Menjelang jam pulang, Raisa memilih turun lebih dulu. Di parkiran, ia berpapasan dengan Aditia.
“Udah mau pulang?” tanya lelaki itu sambil merapikan helm.
Raisa hanya mengangguk. “Iya. Kamu?”
“Masih ada revisi sedikit. Zulfa minta dicek ulang file-nya.”
“Oh…” suara Raisa nyaris tak terdengar.
Aditia memperhatikan wajahnya sejenak. “Rai, kamu kelihatan capek.”
Raisa tersenyum tipis. “Capeknya bukan di badan, Dit.”

Aditia menatapnya lama, tapi sebelum sempat berkata apa pun, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk dari Ayu:

“Lagi di kantor ya? Aku baru kelar meeting. Rasanya pengen ngobrol, tapi takut ganggu.”

Aditia membalas cepat:

“Gak ganggu kok. Nanti aku kabarin pas udah di rumah.”

Raisa memperhatikan sekilas layar ponselnya yang menyala, lalu tersenyum kecil — senyum yang tidak benar-benar bahagia.
“Udah, Dit. Kamu lanjut aja. Aku duluan ya.”

Aditia sempat ingin menahan, tapi urung. Ia hanya mengangguk pelan.
Raisa melangkah pergi, tapi dalam hatinya ada bisikan yang sulit dibungkam:

Lucu ya, aku pernah jadi tempat cerita dia tentang Zulfa, juga tentang Ayu. Dan sekarang aku yang diam-diam harus menenangkan diri karena keduanya masih ada di kehidupannya.


Malamnya, di kamar apartemennya yang sepi, Aditia menatap layar ponselnya lagi.
Chat Ayu muncul di notifikasi:

“Kadang aku iri, Dit. Kamu dikelilingi orang-orang yang bisa kamu ajak cerita langsung. Aku cuma bisa ngetik di sini.”

Aditia terdiam. Ia tahu Ayu bukan sedang menuntut.
Tapi di dalam hati kecilnya, ada rasa bersalah yang mulai tumbuh.
Sebab yang paling sering ia pikirkan hari-hari ini bukan Ayu… melainkan sosok perempuan di meja sebelah, yang selalu menunduk setiap kali ia datang.

***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ETHNIC RUNAWAY goes to BATULICIN-KOTABARU