Hati yang Kembali
Pesawat sore itu melaju pelan di landasan sebelum akhirnya terangkat menuju langit. Langit tampak berwarna oranye keemasan, seolah ikut menenangkan hati yang berdebar. Raisa duduk di dekat jendela, sementara Aditia menempati kursi di sebelahnya. Entah kebetulan atau memang sudah diatur oleh panitia perjalanan dinas kali ini, tapi mereka berdua kembali duduk berdampingan — seperti waktu ke Jogja dulu.
Raisa diam. Ada jeda di antara mereka, jeda yang berisi kenangan tak terucap. Suara mesin pesawat terdengar samar, seperti mengiringi sesuatu yang seharusnya tak perlu dibicarakan lagi.
Aditia mengangguk pelan. “Aku tahu. Sekarang semua udah beda. Ada Ayu, ada keluarga kamu. Tapi anehnya, aku masih ngerasa... rumah kadang bukan tempat, tapi orang.”
Pesawat perlahan menembus lapisan awan, langit berubah menjadi putih pekat. Di antara bunyi mesin dan detak jantung yang saling berkejaran, keduanya terdiam — bukan karena tak tahu harus bicara apa, tapi karena sadar, kadang diam justru menyimpan percakapan paling jujur.
***
Malam itu mereka kembali ke hotel dengan langkah pelan. Jalanan sudah mulai sepi, hanya suara jangkrik dan deru kendaraan sesekali lewat.
Begitu tiba di lobi, Raisa berhenti sebentar. “Capek juga ya, padahal cuma jalan dikit.”
Aditia tersenyum tipis. “Capeknya bukan di kaki, kayaknya. Tapi di kepala.”
Raisa menghela napas pendek. “Kamu bisa aja nebak.”
“Udah keliatan,” balasnya lembut. “Tapi gapapa, malam ini tidurnya yang nyenyak, ya.”
Raisa menatapnya sesaat sebelum berpisah di depan lift. “Makasih, Dit.”
“Untuk apa?”
“Untuk nemenin. Aku rasa, kalau tadi sendiri, mungkin aku nggak bakal makan.”
Aditia hanya mengangguk kecil. “Kadang kita butuh orang buat sekadar ngingetin hal sederhana. Selamat istirahat, Rai.”
Raisa menatapnya sekali lagi sebelum masuk ke lift. Entah kenapa, senyum itu terasa hangat sekaligus menyesakkan.
Pagi berikutnya, Raisa datang sedikit lebih pagi ke ruang pelatihan. Rambutnya diikat rapi, dan ia membawa dua cangkir kopi dari kafe hotel.
Saat Aditia datang, ia sempat terkejut. “Serius? Buat aku?”
Raisa menyerahkan satu gelas padanya tanpa menatap. “Kamu suka yang pahit, kan? Aku inget waktu di Jogja kamu pesen yang itu.”
Aditia menerima dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. “Inget aja.”
“Gampang diingat. Kamu jarang manis,” balas Raisa, membuat Aditia terkekeh kecil.
Hari-hari pelatihan berjalan dengan rutinitas padat—sesi presentasi, diskusi, evaluasi. Tapi di antara jadwal yang melelahkan itu, perhatian-perhatian kecil muncul tanpa direncanakan.
Aditia sering datang diam-diam ke belakang ruangan, meletakkan botol air mineral di meja Raisa ketika melihatnya sibuk mencatat tanpa sempat minum.
Kadang saat istirahat, Raisa datang membawa roti kecil dan menaruhnya di meja Aditia sambil berkata pelan, “Kamu belum makan siang, kan? Nih, biar nggak maag.”
Mereka jarang bicara lama, tapi setiap gestur terasa berarti.
Sore hari, saat hujan turun, Raisa terjebak di teras penginapan. Aditia datang menghampiri sambil membawa payung besar.
“Kamu mau nunggu sampai hujannya reda, atau mau sekalian makan?”
Raisa tersenyum. “Kamu tuh suka banget ya nyeret orang makan.”
“Cuma kalau orangnya lupa jagain diri,” jawabnya tenang.
Aditia memayungi Raisa di sepanjang jalan, hujan turun tipis-tipis, dan suara percikan air jadi latar yang menenangkan. Mereka berjalan beriringan tanpa banyak bicara—hanya langkah yang seirama.
Di hari ketiga pelatihan, Raisa sempat merasa tidak enak badan. Wajahnya pucat, dan ia duduk lebih banyak diam. Aditia yang duduk dua baris di belakang langsung memperhatikan.
Saat sesi berakhir, ia menghampirinya. “Kamu kenapa? Mukamu pucat banget.”
“Cuma pusing dikit. Kurang tidur mungkin.”
“Udah makan?”
Raisa menggeleng pelan.
Aditia menarik napas pelan, lalu berjalan sebentar ke luar ruangan. Tak lama kemudian ia kembali membawa sekotak kecil roti dan air mineral.
“Ini dulu ya, sebelum makan beneran.”
Raisa tersenyum tipis, suaranya hampir bergetar. “Kamu tuh kenapa selalu inget hal-hal kayak gini?”
“Karena kamu sering lupa inget diri sendiri,” jawabnya.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti itu—sunyi tapi hangat. Mereka tetap profesional di ruang kerja, tetap menjaga batas, tapi setiap tatapan, setiap ucapan sederhana menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perhatian.
Malam terakhir pelatihan, mereka duduk di balkon hotel, menatap langit malam yang berawan.
“Besok udah balik, ya,” ucap Raisa lirih.
Aditia mengangguk pelan. “Iya.”
“Kamu sadar nggak, setiap kali pelatihan bareng, pasti ada sesuatu yang bikin suasananya... beda.”
Aditia menatapnya sesaat, lalu menjawab pelan, “Mungkin karena di sini kita nggak perlu berpura-pura kuat.”
Raisa diam, hanya tersenyum samar. “Kamu tau, Dit? Kadang aku takut, ketenangan kayak gini bikin aku lupa pulang.”
Aditia menatap lurus ke depan. “Kamu cuma butuh waktu buat inget, rumah itu tetap tempatmu kembali. Aku cuma... singgahan, mungkin.”
Suasana hening. Angin malam berhembus pelan. Dua cangkir teh di antara mereka sudah dingin, tapi tak satu pun dari keduanya berniat beranjak.
Mereka tahu, pagi nanti semua akan kembali seperti biasa—namun malam itu, dalam diam, mereka sama-sama tahu: beberapa rasa tidak butuh nama, cukup disimpan di ruang kecil yang tak bisa dijelaskan oleh siapa pun.
Pagi itu udara masih sedikit dingin ketika rombongan peserta pelatihan menuju bandara. Di parkiran hotel, Raisa menatap koper kecilnya sambil menarik napas panjang.
“Capek ya?” suara Aditia terdengar dari samping, tenang seperti biasa.
“Lumayan,” Raisa tersenyum lemah. “Tapi lebih ke... campur aduk sih.”
Aditia hanya mengangguk. “Pelatihan kali ini agak beda, ya.”
“Beda gimana?”
“Entah. Mungkin karena banyak hal yang... terasa tapi nggak diomongin.”
Raisa sempat menatapnya, tapi buru-buru memalingkan pandangan. “Kamu emang suka ngomong aneh-aneh pagi-pagi.”
Sampai di bandara, waktu boarding masih lama. Aditia menatap papan jadwal penerbangan lalu melirik Raisa.
“Kamu udah sarapan?”
“Belum sempet. Nanti aja di pesawat deh.”
Aditia menggeleng pelan. “Jangan. Makan dikit dulu, nanti lambungmu protes lagi.”
Raisa menghela napas kecil, tapi akhirnya ikut duduk bersamanya di sebuah kafe dekat gate. Mereka memesan sarapan ringan, dan seperti biasa, Aditia yang diam-diam memastikan Raisa makan cukup.
“Kayak bukan aku yang harusnya dijagain deh,” gumam Raisa sambil tertawa kecil.
Aditia menatapnya sebentar, senyum di sudut bibirnya pelan. “Ya, kadang yang kuat juga butuh dijagain.”
Raisa menunduk, pura-pura sibuk mengaduk kopinya, padahal dadanya terasa aneh—hangat tapi menekan.
Saat naik ke pesawat, mereka kebetulan duduk bersebelahan lagi.
Raisa sempat bercanda, “Kamu kayak bayangan ya, di mana-mana ada.”
Aditia tertawa pelan. “Berarti aku cukup beruntung.”
Beberapa menit setelah pesawat lepas landas, lampu kabin diredupkan. Angin dari ventilasi dingin menyentuh kulit, dan Raisa menarik selimut tipis yang disediakan.
Tubuhnya terasa lelah; mata mulai berat.
Biasanya, ia tidak pernah bisa tidur di pesawat — suara mesin, posisi duduk, bahkan guncangan kecil saja membuatnya gelisah. Tapi entah kenapa, kali ini berbeda.
Pesawat sedikit berguncang karena turbulensi. Secara refleks Raisa memegang erat sandaran kursinya.
“Gapapa, cuma kecil kok,” ucap Aditia pelan, menenangkan.
Raisa menarik napas pelan, menatap jendela yang gelap, lalu perlahan, tubuhnya mulai rileks.
Beberapa menit kemudian, tanpa sadar, kepalanya miring sedikit, bersandar di bahu Aditia.
Lelaki itu terdiam. Ia sempat menoleh sebentar — melihat wajah Raisa yang tenang, mata tertutup, napas teratur.
Tangannya yang sempat ragu, akhirnya tetap diam di pangkuan. Ia tak berani bergerak, takut membangunkannya.
Hanya sesekali, matanya menatap ke luar jendela, lalu kembali memandang perempuan yang tertidur di sampingnya.
Ketika pramugari lewat membawa kantong sampah, Aditia hanya menggeleng pelan sambil menaruh gelas kertas Raisa.
Raisa tetap tertidur, tanpa tahu kalau seseorang di sampingnya menjaga diam-diam, memastikan posisinya nyaman.
Beberapa saat kemudian, Raisa menggeliat kecil, lalu tersadar. Ia buru-buru menjauh sedikit, pipinya memanas.
“Astaga, aku... ketiduran ya?”
Aditia menahan senyum. “Iya. Nyenyak banget malah.”
Raisa menunduk malu. “Padahal aku tuh paling nggak bisa tidur di pesawat, tahu.”
“Nah, itu dia,” jawab Aditia sambil menatap ke depan. “Katanya nggak bisa tidur, taunya sampai pramugari lewat pun nggak sadar.”
Raisa menatapnya kesal tapi tertawa kecil. “Jangan diledekin, aku capek banget soalnya.”
“Capeknya dari pelatihan, atau dari mikirin sesuatu?”
Raisa terdiam sebentar. “Dua-duanya mungkin.”
Aditia mengangguk pelan. “Kadang, yang bikin capek bukan pekerjaannya, tapi perasaan yang nggak tahu harus ditaruh di mana.”
Raisa menatapnya sekilas, lalu menatap kembali ke jendela.
Langit di luar perlahan berubah warna — biru muda dengan semburat awan putih.
Dalam diam, keduanya sama-sama tahu... mungkin momen seperti ini tidak akan sering datang. Tapi untuk hari itu, cukup.
Satu bahu yang tenang, satu tawa kecil, dan satu penerbangan pulang yang terasa lebih hangat dari biasanya.
***Bandara sore itu ramai. Suara roda koper beradu dengan lantai marmer, dan pengumuman kedatangan terdengar bergantian. Raisa berjalan di belakang Aditia sambil menenteng tas kecil, langkahnya pelan karena pikirannya masih tertinggal di atas pesawat.
Mereka baru saja mendarat, tapi hati Raisa terasa aneh—seperti belum benar-benar sampai.
“Bagasi kita di carousel sebelah kanan,” ujar Aditia datar, matanya menatap layar informasi.
Raisa mengangguk. “Oke.”
Mereka berdiri bersebelahan, menunggu koper masing-masing. Tak banyak bicara, tapi keheningan itu justru terasa akrab. Kadang tangan Raisa hampir bergerak menunjuk sesuatu, atau ingin bicara hal kecil—namun selalu ia tahan.
Begitu koper mereka keluar, Aditia cepat mengambil miliknya, lalu membantu mengangkat koper Raisa tanpa diminta.
“Ini berat banget, kamu bawa apa aja sih?” katanya setengah bercanda.
Raisa tersenyum kecil. “Kenangan, mungkin.”
Aditia menoleh sekilas, senyum yang muncul di bibirnya tidak sepenuhnya ringan. “Kalau gitu jangan dibawa semua. Sisain sedikit aja di sini,” ujarnya pelan, menepuk dadanya singkat sambil pura-pura menunduk mencari sesuatu di koper.
Raisa terdiam. Ia tahu maksud kalimat itu bukan sekadar gurauan.
Begitu mereka keluar area bagasi, suasana bandara makin ramai. Penjemputan sudah menunggu di luar. Dari kejauhan, Raisa melihat suaminya berdiri di antara kerumunan, melambai kecil ke arahnya.
Aditia melihat ke arah yang sama, dan dalam sekejap ekspresi di wajahnya berubah. Ia meraih koper, menyerahkan pegangan itu pada Raisa dengan cepat.
“Nih, biar kamu langsung ke sana.”
“Eh... kamu?”
“Aku duluan ya. Grab-ku udah deket.”
Suaranya tenang, tapi langkahnya terlalu cepat, seolah tak ingin memberi waktu bagi Raisa untuk menahan.
Raisa sempat ingin memanggil—“Dit...” tapi suaranya lenyap di tenggorokan.
Hanya punggung lelaki itu yang makin menjauh, berjalan tegak, tanpa menoleh sekalipun.
Sesaat, Raisa hanya berdiri di situ, di antara lalu lalang orang, sambil menggenggam pegangan koper yang tadi disentuh tangan Aditia.
Tak ada perpisahan, tak ada ucapan hati-hati, tapi ada sesuatu di udara—perasaan yang terlalu penuh untuk diucapkan, terlalu sunyi untuk disembunyikan.
Malamnya, setelah sampai di rumah, Raisa duduk di tepi ranjang. Suaminya sudah tertidur, lampu kamar temaram.
Di meja, ponselnya bergetar pelan. Satu pesan masuk.
Aditia:
Udah sampai rumah?
Raisa menatap layar itu lama, lalu mengetik perlahan.
Raisa:
Udah. Kamu juga ya, hati-hati.
Balasan datang cepat.
Aditia:
Iya. Makasih ya, udah jadi teman perjalanan yang... menyenangkan.
Raisa menatap titik-titik tiga di layar yang muncul lalu menghilang.
Ia tak tahu kenapa dadanya terasa sesak hanya karena kalimat sesederhana itu.
Tangannya menulis sesuatu, lalu menghapus. Menulis lagi, lalu menghapus lagi.
Akhirnya hanya satu kalimat yang ia kirim:
Raisa:
Aku juga makasih. Untuk semua perhatian kecilnya.
Tidak ada balasan setelah itu. Tapi entah kenapa, hening itu terasa cukup keras untuk membuat Raisa menutup matanya lama-lama malam itu.
Di antara lampu kamar yang temaram, ia sadar—beberapa pertemuan memang tidak ditakdirkan untuk diteruskan, tapi cukup untuk membuat seseorang mengingat bagaimana rasanya dihargai dengan cara paling lembut.
Komentar
Posting Komentar