Jogja Malam Itu

 

Hari itu, kantor sedang sibuk mempersiapkan keberangkatan untuk tugas dinas luar kota. Raisa menunduk di depan laptopnya, fokus pura-pura, sampai matanya menangkap satu nama di surat tugas — Aditia Pratama.
Dadanya mendadak terasa aneh.

Ia menarik napas panjang. Sudah berbulan-bulan mereka berdua berusaha menjaga jarak, dan kini semesta seolah iseng mempertemukan lagi.


Kereta sore itu penuh, tapi suasana di antara mereka justru terasa sepi. Raisa duduk di dekat jendela, sedangkan Aditia duduk di sebelahnya, sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah lorong.

Tak ada kata selama beberapa menit. Hanya suara roda kereta dan deru angin yang masuk dari celah kecil jendela.

“Masih suka matcha?” tanya Aditia tiba-tiba, suaranya pelan, seolah takut memecahkan keheningan.

Raisa menoleh, sedikit terkejut. Ia tersenyum samar.
“Masih. Tapi sekarang jarang bikin sendiri.”

“Kenapa?”

“Gak tau,” jawab Raisa pelan, menatap keluar jendela. “Mungkin karena rasanya jadi beda.”

Aditia diam. Ia tahu maksudnya lebih dalam dari sekadar minuman.
Ia menatap Raisa sebentar, lalu kembali menunduk pada botol air mineral di tangannya.

“Aku… minta maaf, kalau waktu itu aku tiba-tiba menjauh,” ucap Aditia akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan.

Raisa menatapnya. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya kelu.
“Gak apa-apa, Dit. Aku ngerti kok,” ujarnya pelan. “Mungkin itu memang yang paling benar.”

Aditia tersenyum kaku. “Benar belum tentu mudah.”

Raisa menatapnya lama. “Dan mudah belum tentu benar.”

Mereka sama-sama terdiam lagi. Tapi kali ini, keheningannya tidak sesakit dulu.
Ada pengakuan diam-diam di antara mereka — bahwa rasa itu masih ada, hanya saja kini mereka memilih untuk tidak menyentuhnya.


Malamnya, setelah rapat dengan panitia acara, mereka duduk berdua di lobi hotel, menunggu mobil jemputan.
Suasana hening, hanya suara detik jam dan hujan tipis di luar.

“Kadang aku pengen waktu bisa mundur,” kata Raisa tiba-tiba.

Aditia menoleh. “Biar apa?”

Raisa menatap lantai, suaranya nyaris hilang. “Biar aku bisa lebih ngerti arah hatiku dulu, sebelum bikin keputusan yang nyatanya aku sendiri gak siap.”

Aditia menarik napas dalam. “Kalau waktu bisa mundur… aku mungkin gak akan berani deket kamu sejauh itu.”

Raisa tersenyum pahit. “Kenapa?”

“Soalnya makin deket, makin susah lupa,” jawab Aditia lirih.

Hening lagi. Tapi kini heningnya tak sesepi dulu — ada sesuatu yang tertinggal di udara, seperti sisa kehangatan yang tak mau pergi.

Raisa menatap jam di pergelangan tangannya, lalu berdiri.
“Kita harus siap-siap ke lokasi besok pagi.”

Aditia mengangguk. “Iya. Hati-hati ya, Rai.”

Raisa berhenti sejenak sebelum melangkah pergi.
“Dit,” panggilnya lembut.
Aditia menatapnya.

“Terima kasih… udah tetap jadi orang yang bisa aku ajak diam tanpa harus banyak bicara.”

Aditia menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.
“Kadang, diam memang cara terbaik buat menjaga yang masih ingin kita simpan.”


Dan malam itu, meski mereka berjalan ke arah kamar masing-masing, keduanya tahu — beberapa rasa tidak butuh kepastian untuk tetap terasa nyata.
Karena ada perasaan yang tidak pernah benar-benar hilang, hanya berubah bentuk:
dari ingin memiliki, menjadi cukup tahu bahwa pernah saling mengisi.

***

Hari terakhir dinas di Yogyakarta berjalan lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Semua laporan sudah rampung, acara sudah selesai, dan malam itu mereka punya waktu luang sebelum pulang ke Jakarta esok pagi.

Aditia mengetuk pintu kamar Raisa pelan.
“Rai, mau keluar bentar? Sayang banget kalau di Jogja gak sempat keliling.”

Raisa menatap jam tangannya. Pukul delapan malam. Ia sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Sebentar aja ya, Dit. Besok pagi aku udah harus video call sama anakku sebelum berangkat.”

Mereka pun keluar, berjalan kaki menyusuri jalanan Malioboro yang mulai sepi. Lampu-lampu toko berwarna kuning temaram memantulkan bayangan mereka di aspal yang masih lembap bekas hujan sore tadi.

“Jogja selalu punya suasana yang aneh ya,” kata Raisa. “Hangat, tapi nyisain sepi juga.”

Aditia tertawa kecil. “Kayak kamu.”

Raisa menatapnya, pura-pura cemberut. “Maksudnya?”

“Hangat. Tapi sering keliatan nyimpen banyak hal.”

Raisa terkekeh, tapi matanya sayu. “Aku gak nyimpen apa-apa, Dit. Cuma belajar diem biar gak semua hal harus dijelasin.”

Mereka berhenti di pinggir jalan, membeli sate klatak dari gerobak kecil di dekat alun-alun. Duduk di bangku panjang sambil menikmati angin malam yang lembut.

“Gimana Ayu?” tanya Raisa tiba-tiba, pura-pura santai.
Aditia melirik sekilas, sedikit tersenyum. “Baik. Dia anaknya asik kok, rame, ceria banget. Kadang aku iri sama orang yang bisa segampang itu bahagia.”

Raisa mengangguk, menatap tusuk sate di tangannya. “Iya… aku juga. Kadang iri sama orang yang gak harus mikirin terlalu banyak hal sebelum ketawa.”

Hening sebentar. Suara gamelan dari kejauhan mengalun samar.

“Kamu kangen anakmu?” tanya Aditia, kali ini lembut.

Raisa tersenyum kecil. “Banget. Kadang cuma ngeliat tidurnya aja rasanya tenang. Tapi di sisi lain, kadang aku ngerasa bersalah. Karena aku ngerasa… gak selalu utuh buat dia.”

Aditia menatapnya lama. “Rai, gak ada yang selalu utuh. Tapi anakmu akan tau kok, kamu selalu berusaha. Itu jauh lebih berharga daripada sempurna.”

Kata-katanya menenangkan. Raisa diam, menunduk. “Kamu tuh ya, selalu tau cara ngomong yang bikin orang lain tenang.”

Aditia tertawa kecil. “Kebiasaan aja. Mungkin karena aku juga sering nyari ketenangan tapi jarang nemu.”

Mereka berjalan lagi, melewati Tugu Jogja yang berdiri gagah di ujung jalan.
Lampu-lampu kendaraan lewat perlahan, membiarkan malam berjalan lembut di antara mereka.

“Dit,” panggil Raisa tiba-tiba. “Makasih ya, udah bikin perjalanan dinas kali ini gak terasa sesulit itu.”

Aditia menatapnya, matanya teduh. “Sama-sama, Rai. Aku juga makasih, udah bisa ngobrol lagi sama kamu tanpa harus ngerasa bersalah.”

Raisa tersenyum tipis. “Kita udah sama-sama belajar ya, buat gak salah lagi.”

“Iya,” jawab Aditia pelan. “Kadang caranya bukan menjauh, tapi belajar tetap dekat tanpa melampaui batas.”

Mereka berhenti sejenak di depan Tugu, angin malam berhembus lembut. Raisa merapikan rambutnya yang tertiup angin. Aditia memperhatikannya sekilas, lalu menatap langit.

“Jogja ya…” ucap Aditia pelan. “Selalu bisa bikin orang jatuh cinta, tapi juga bikin orang belajar melepaskan.”

Raisa tersenyum. “Kayak kita, ya?”

Aditia menoleh, senyumnya tenang. “Kayak kita.”


Malam itu mereka berjalan kembali ke hotel tanpa banyak bicara.
Tapi setiap langkah terasa ringan — bukan karena perasaan mereka hilang, melainkan karena keduanya akhirnya belajar menerima:
bahwa beberapa hubungan tidak diciptakan untuk dimiliki, melainkan untuk mengingatkan, bahwa rasa tulus pun bisa tetap indah — meski tak berujung.

***

Dua minggu setelah dinas di Yogyakarta, kantor kembali sibuk dengan rutinitas seperti biasa.
Raisa duduk di meja kerjanya, membuka email sambil menyeruput kopi hitam — kali ini bukan matcha. Ia menatap layar, tapi pikirannya sempat melayang pada malam di Jogja itu: tawa kecil, obrolan di pinggir jalan, dan lampu Tugu yang temaram.

Lucu, pikirnya.
Bagaimana seseorang bisa hadir dalam hidup kita, sebentar saja, tapi meninggalkan kesan yang seolah tak punya tanggal kedaluwarsa.

Aditia kini duduk beberapa meja di depan, masih dengan kesibukan yang sama. Sesekali mereka saling berpapasan, bertukar senyum kecil yang hanya mereka berdua yang tahu maknanya.
Tidak ada lagi canggung, tidak ada lagi rasa bersalah.
Hanya dua orang yang pernah hampir tersesat, dan kini sama-sama menemukan jalan pulang.


Di rumah, Raisa kembali pada rutinitasnya sebagai ibu dan istri.
Menyiapkan sarapan, menata baju sekolah anak, lalu menatap wajah kecil yang membuatnya merasa cukup.
Kadang ia masih berpikir tentang hidupnya — tentang keputusan masa lalu, tentang kemungkinan yang tak pernah terjadi — tapi kini ia tidak lagi menyesal.
Ada hal-hal yang memang harus disyukuri, bukan diulang.

Malam itu, saat suaminya sudah tertidur, Raisa membuka catatan kecilnya lagi.
Menulis pelan, seperti berbicara dengan dirinya sendiri:

“Aku pernah hampir kehilangan arah karena mencari hangat di luar rumah,
padahal yang harus aku temukan sebenarnya ada di dalam diri.
Kini aku tahu, cinta tidak selalu harus memiliki,
kadang cukup dengan memahami mengapa rasa itu pernah hadir — dan untuk apa ia datang.”

Ia menutup bukunya, tersenyum, dan mematikan lampu.


Sementara itu, di sisi lain kota, Aditia duduk di kafe kecil bersama Ayu — rekan kerja dari Surabaya yang kini sering bertukar pesan dengannya.
Ayu sedang tertawa lepas bercerita tentang keluarganya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aditia merasa benar-benar ringan.

Namun di sela tawa itu, ada jeda kecil — sekejap, tapi cukup untuk membuatnya teringat pada seseorang.
Seseorang yang membuatnya belajar arti menjaga jarak tanpa kehilangan ketulusan.
Raisa.

Ia menatap layar ponselnya sejenak — chat lama mereka masih tersimpan, tapi sudah lama tidak dibuka.
Aditia tidak menghapusnya, bukan karena belum move on, tapi karena beberapa kenangan tidak diciptakan untuk dilupakan — hanya untuk diingat seperlunya.

Ia menatap Ayu lagi, tersenyum hangat.
Mungkin kali ini, ia benar-benar siap memberi ruang baru.


Dan di antara dua hati yang sempat saling memahami tapi tak bisa memiliki,
waktu akhirnya mengajarkan satu hal penting:

Bahwa tidak semua kisah harus berakhir dengan bersama.
Beberapa cukup berakhir dengan kedewasaan —
dan perasaan yang, meski tak lagi diucapkan, tetap diam-diam mendoakan dari jauh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ETHNIC RUNAWAY goes to BATULICIN-KOTABARU