Langkah Yang Tak Pernah Menoleh
Aroma parfum itu begitu khas—aroma lelaki yang belakangan ini diam-diam menetap di hati Raisya. Ada semburat manis vanilla yang selalu berhasil membuatnya luluh, aroma yang seolah melekat pada tiap kenangan bersamanya.
Hari itu, lelaki itu baru saja kembali dari perjalanan dinas bersama Zulfa, teman wanita yang Raisya tahu tengah ia dekati. Sepanjang perjalanan, Raisya dan Aditia masih sempat saling bertukar pesan, hal-hal remeh—sekadar bertanya kabar atau berbagi cerita kecil. Namun Raisya sadar, semua itu tak cukup untuk meruntuhkan jarak yang kini semakin nyata.
Lewat status WhatsApp dan unggahan Instagram, Raisya bisa menebak bagaimana hari-hari mereka dihabiskan. Zulfa memposting video dirinya tengah memotret indahnya senja di tepi sungai, dengan angle yang Raisya tahu pasti diambil oleh Aditia. Tak lama, Aditia pun mengunggah video Zulfa di status pribadinya. Raisya masih ingat jelas caption yang ia tulis—kalimat yang terasa begitu romantis, sekaligus menyakitkan di matanya:
"Bahkan ketika berhadapan denganmu, matahari senja pun malu-malu menampakkan cahayanya..."
Raisya menatap layar ponselnya lama sekali. Ada perih yang mengendap di dadanya, getir yang tak mampu ia sembunyikan.
***
Sepulang dari perjalanan dinas, ia datang hanya untuk satu alasan—mengambil TWS yang dulu dititipkan pada Raisya. Singkat, sederhana, tanpa sedikitpun celah untuk obrolan kecil yang dulu selalu mereka punya. Padahal, sejak perjalanan ke Jakarta itu, hari-hari Raisya terasa berbeda. Hampa. Seperti ada satu ruang kosong yang dibiarkan menganga, menunggu untuk diisi, namun tak pernah tersentuh lagi.
"Rai, aku tunggu di ruang tamu ya," tulisnya di WhatsApp. Raisya sempat berharap ia akan datang ke ruang kerjanya, duduk sebentar, lalu berbicara tentang hal-hal kecil seperti dulu. Tapi tidak. Ia memilih menunggu di luar. Seolah ada dinding tak kasat mata yang kini memisahkan mereka.
Keluar dari ruangan, Raisya kembali disergap aroma itu. Aroma khas lelaki itu—hangat, manis, vanilla, dan begitu familiar. Aroma yang seketika membuat dadanya sesak, menyalakan kata yang selama ini ia pendam dalam-dalam: rindu.
Dan setelah itu, ia bangkit. Melangkah menjauh.
Raisya terdiam di tempatnya. Matanya terpaku pada punggung lelaki itu yang semakin menjauh. Ada gemuruh tak terkendali di dadanya—antara ingin berteriak, atau sekadar memanggil namanya. Ia ingin menahan, tapi takut kehilangan wajah tenang yang selama ini ia pertahankan. Ia ingin mengejar, tapi sadar kakinya tak punya alasan.
Yang tertinggal hanyalah rindu yang mengikat erat, menyiksa dalam diam. Ia menatap punggung itu sampai benar-benar hilang dari pandangan, seolah berharap sekali saja… hanya sekali saja… lelaki itu menoleh. Tapi harapan itu tak pernah datang, dan Raisya pun kembali berdiri dalam sepi yang makin menghimpitnya.
***Raisya berdiri mematung, menatap punggung itu. Semakin jauh langkahnya, semakin sesak dada Raisya.
"Kenapa rasanya seperti ini? Kenapa aku begitu merindukanmu padahal tak seharusnya? Kenapa aku berharap kau menoleh, meski tahu kau tak akan melakukannya?"
Matanya masih terpaku. Ada getir yang menyesap, bercampur antara rindu dan takut. Takut kehilangan, takut kecewa, takut terlalu dalam mencintai seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar menggenggamnya.
"Aku ingin memanggilmu. Sekadar mengatakan, ‘jangan pergi dulu, aku masih ingin bicara.’ Tapi lidahku kelu. Aku hanya bisa berdiri di sini, membiarkanmu berlalu, seolah-olah aku baik-baik saja. Padahal tidak. Aku hancur perlahan, bahkan oleh senyummu yang tadi singkat itu."
Setiap langkah lelaki itu menjauh, seperti mencabut satu demi satu bagian dirinya. Raisya ingin mengejar, tapi kakinya berat. Ada dinding tak terlihat yang menahannya, dinding bernama tak berhak.
Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam. Aroma vanilla itu masih tertinggal, menempel di udara, menempel di hatinya.
"Kalau saja aku boleh jujur… kalau saja aku berani… aku hanya ingin berkata: aku merindukanmu. Setiap hari. Setiap waktu. Dengan cara yang bahkan aku sendiri tak mampu pahami."
Tapi mata Raisya kembali terbuka, hanya menemukan ruang kosong di hadapannya. Punggung itu telah hilang. Dan sekali lagi, ia harus berpura-pura kuat, menyembunyikan kacau hatinya di balik diam.
***
Aditia duduk di ruang tamu, menunggu. Pesan singkatnya sudah terkirim: “Rai, aku tunggu di ruang tamu ya.”
Ia sengaja tidak masuk ke ruangannya. Bukan karena tak ingin… tapi justru karena terlalu ingin. Bertatap muka lama-lama dengan Raisya hanya akan membuka celah yang seharusnya tidak boleh ada.
Ketika pintu terbuka dan Raisya melangkah keluar, wangi yang ia hafal menyeruak. Sesaat, waktu terasa melambat. Senyum tipis itu—senyum yang sederhana—cukup untuk mengguncang hatinya lagi.
“Nih, warna item kan,” ucap Raisya sambil menyerahkan TWS. Ia meraih benda itu, menahan sebentar agar tangannya tak bergetar.
“Makasih ya…” jawabnya singkat. Lalu ia bangkit, melangkah pergi.
Namun di balik langkahnya yang tampak ringan, dadanya penuh riuh.
"Kenapa rasanya seperti ini? Kenapa aku selalu ingin lebih lama bersamamu, padahal aku tahu itu salah? Kau sudah punya hidup sendiri, Rai… seorang suami, sebuah rumah yang bukan aku di dalamnya. Apa yang kulakukan ini sudah cukup jauh. Satu langkah lebih dalam lagi hanya akan jadi luka—untukmu, untukku, dan untuk orang yang menunggumu di rumah."
Ia bisa merasakan tatapan Raisya di punggungnya, tatapan yang hangat sekaligus menyesakkan. Ingin sekali ia menoleh, sekadar memberi tanda bahwa ia pun merasakan hal yang sama. Tapi ia tak berani.
"Jika aku menoleh sekarang, aku mungkin takkan bisa lagi melepaskanmu. Dan aku tahu, aku tidak berhak."
Langkahnya terus menjauh. Setiap tapak terasa berat, seolah meninggalkan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan. Di dalam hati, ia berbisik pelan, doa yang hanya bisa ia simpan untuk dirinya sendiri:
"Tetaplah bahagia, Rai. Meski bukan aku alasannya."
***Raisya menatap punggung Aditia yang semakin jauh. Ada rindu yang menyesak, rasa yang tumbuh tanpa izin, dan hati yang bergetar meski ia tahu itu terlarang. Ia ingin sekali melangkah maju, sekadar mendekat, sekadar berkata bahwa ia merindukan lelaki itu. Tapi langkah itu tak pernah ia ambil.
Karena ia tahu, satu langkah saja akan mengubah segalanya. Ia tidak ingin meruntuhkan rumah yang telah ia bangun. Ia tidak ingin menghancurkan dirinya sendiri, apalagi lelaki itu. Raisya sadar, jika ia menjadi alasan Aditia goyah, maka keduanya hanya akan berakhir dalam kesalahan besar—dan itu bukan cinta, melainkan kehancuran.
"Aku ingin… tapi aku tidak boleh. Aku rindu… tapi aku harus diam. Karena mencintaimu berarti melepaskanmu dari segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi jika aku mendekat," bisik Raisya dalam hati, menelan getirnya sendiri.
Sementara itu, Aditia melangkah keluar dengan dada yang berat. Ia tahu Raisya menatapnya, ia tahu ada perasaan di sana. Dan ia pun merasakannya. Tapi ia juga sadar, ia adalah seorang lelaki—ia punya hidup, masa depan, dan pilihan-pilihan yang harus ia jaga.
Walaupun Raisya bisa saja menjadi salah satu pilihannya, waktu mempertemukan mereka di saat yang tidak tepat. Raisya sudah punya rumah, sementara dirinya pun berada di persimpangan, meski hatinya masih penuh kebimbangan. Namun ada satu hal yang jelas: Raisya tak pernah bisa masuk dalam pertimbangan itu.
"Kalau saja kita bertemu di waktu lain… mungkin semuanya berbeda. Tapi sekarang, aku harus berhenti di sini. Karena bila aku memilihmu, maka aku akan kehilangan diriku sendiri," batin Aditia, menahan keinginan yang membara dalam diam.
Keduanya sama-sama terikat oleh rasa, tapi juga sama-sama menolak untuk jatuh. Raisya takut merusak, Aditia takut salah langkah. Dan pada akhirnya, yang tersisa hanyalah rindu yang tak pernah sempat diucapkan—rindu yang hanya bisa mereka simpan di dalam dada, sambil melangkah menjauh ke arah yang berlawanan.
Komentar
Posting Komentar