Samar-Samar yang Melelahkan
Raisa memperhatikan Ayu dari kejauhan, sibuk berdiskusi dengan Aditia di ruang kerja sebelah.
Keduanya tampak akrab, sesekali tertawa.
Pemandangan itu seharusnya biasa saja — tapi bagi Raisa, entah kenapa, setiap suara tawa itu seperti gema dari masa lalu yang sulit ia kubur.
Ia menghela napas panjang, lalu menatap layar laptopnya yang masih kosong.
Dan tanpa sadar, pikirannya kembali melayang… ke setahun lalu, ke kota lain, ke awal yang tidak pernah mereka duga.
Jakarta, setahun yang lalu.
Malam di ibu kota terasa sibuk, tapi di balkon hotel tempat mereka menginap, hanya ada dua orang: Raisa dan Aditia.
Raisa memeluk lututnya, menatap jalanan yang ramai.
“Lucu ya, Dit. Aku ini udah punya semuanya… rumah, anak, suami, tapi kadang masih ngerasa kosong.”
Aditia diam. Ia tidak menatap Raisa, hanya menyesap kopinya perlahan.
“Kadang yang kosong itu bukan hidupnya, Rai,” ujarnya akhirnya. “Tapi hati yang nggak lagi tahu harus berlabuh ke mana.”
Raisa menatapnya, lama.
Malam itu, ia belum tahu kenapa kalimat sederhana itu bisa menembus sampai ke dalam.
Dan sejak saat itu, setiap dinas, setiap proyek bareng, nama Aditia selalu muncul di setiap detail hari-harinya — bukan sebagai lelaki lain, tapi sebagai tempat ia bisa berhenti sejenak dari lelahnya dunia.
Kini, duduk di kantor yang dingin dengan lampu putih, Raisa tersadar:
waktu telah berjalan terlalu jauh.
Aditia kini bukan lagi hanya “teman bicara di balkon hotel Jakarta”.
Ia sudah punya seseorang yang menunggunya — Ayu, sahabat yang justru sangat ia sayangi.
“Rai,” suara lembut itu memecah lamunannya.
Ayu berdiri di depan meja, membawa dua gelas kopi.
“Ini buat kamu. Katanya kamu suka yang nggak terlalu manis.”
Raisa tersenyum, menerima gelas itu. “Kamu hafal banget.”
Ayu duduk di kursi sebelahnya. “Ya iyalah, dulu sekamar aja kamu tiap pagi pesen kopi kayak gini.”
Mereka tertawa. Hangat. Nyaman.
Dan di sela tawa itu, Raisa merasakan sesuatu yang mengaduk dadanya pelan —
karena perempuan yang kini duduk di sampingnya itu sedang jatuh cinta pada lelaki yang sama yang diam-diam masih menempati ruang kecil di hatinya.
Beberapa saat kemudian, Aditia muncul di ambang pintu.
“Loh, kalian berdua ngopi bareng nih?” tanyanya sambil tersenyum.
“Yap!” jawab Ayu ceria. “Aku beliin juga buat kamu.”
Aditia mengambil gelas itu sambil menatap Raisa sekilas.
Tatapan yang singkat, tapi cukup untuk membuat Raisa kembali ingat —
bahwa di antara tawa mereka bertiga, ada hal-hal yang tak pernah terucap tapi terus terasa.
Kantor sore itu dipenuhi suara ringan percakapan antara mereka bertiga.
Tapi di balik canda dan senyum, Raisa tahu — tidak ada yang benar-benar ringan di antara mereka.
Ada sesuatu yang mereka masing-masing jaga agar tidak terlihat,
karena bila sampai terlihat, semuanya bisa runtuh begitu saja.
Komentar
Posting Komentar