Semesta yang Tak Sama
Langkah-langkahku terasa berat ketika menapaki lorong kenangan yang hanya indah untukku seorang. Perjalanan manis yang dulu membuatku merasakan kupu-kupu di perut, degup jantung yang sudah lama kurindukan, kini hanya tersisa serpihan. Bahkan aroma parfumnya—manis, hangat, lembut—masih lekat di udara setiap kali aku mengingatnya.
Entah baginya semua ini hanya biasa saja, atau mungkin tak pernah berarti apa-apa. Setiap percakapan yang terjadi kini terasa canggung. Aku tak tahu, apakah ia sedang berusaha menghindar, atau hanya ingin menjaga dari mata orang lain. Atau mungkin memang kami berdua sedang sama-sama membangun pagar pembatas yang tinggi, garis tebal yang kami jaga sekuat tenaga.
Di balik ketenanganku, ada badai yang setiap hari menggerogoti. Aku hanya bisa menuliskan semua ini di sini, betapa menyenangkannya hari-hari itu. Namun aku tahu, semua itu hanya ilusi dalam kepalaku. Seandainya saja… pikiranku sering berbisik seperti itu, padahal pada kenyataannya ia sudah berjalan jauh, meninggalkan semua yang pernah kami lalui. Semua yang mengesankan bagiku, ternyata hanya aku yang menyimpannya erat-erat.
Aku masih di sini. Setiap kali berpapasan dengannya, aku menahan gelisah, berusaha terlihat tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Setiap kali melihat wajahnya, aku ingin menghindar. Aku takut, karena aku tahu rindu ini bisa semakin menjadi-jadi jika terlalu lama menatapnya.
Tapi aku harus menyerah pada kenyataan. Aku tahu, aku akan baik-baik saja. Perlahan aku akan melupakan rasa semu ini. Sama seperti dia yang perlahan sudah menata hidupnya dan menemukan rumah tempatnya berteduh.
Komentar
Posting Komentar