Setelah Jogja
Sudah seminggu sejak mereka meninggalkan Jogja.
Namun, seolah sebagian dari hati Raisa masih tertinggal di sana—di jalanan sempit yang mereka lalui berdua, di udara malam yang penuh cahaya lampu dan percakapan yang menggantung.
Kini, mereka kembali ke kantor. Ruang yang sama, meja yang berseberangan.
Tapi sesuatu sudah berubah.
Tak ada lagi candaan ringan tanpa beban, tak ada lagi tanya sederhana seperti “udah makan?” yang dulu terasa biasa tapi kini membuat dada Raisa sesak.
Aditia pun menyadari itu. Ia masih bersikap profesional, masih menatap layar laptop dengan fokus, tapi setiap kali Raisa tertawa kecil saat berbicara dengan rekan lain, ada bagian di dirinya yang ingin menoleh, memastikan tawa itu tulus… atau hanya upaya menutupi sesuatu.
Sore itu, ketika semua orang sudah pulang, Raisa masih duduk menyelesaikan laporan.
Aditia yang baru keluar dari ruang meeting mendekat.
“Masih belum selesai?” tanyanya pelan.
Raisa tersenyum samar tanpa menoleh.
“Sedikit lagi. Kamu juga belum pulang?”
“Belum. Nungguin file dari Ayu, katanya mau dikirim malam ini.”
Nada suaranya datar, tapi Raisa tahu, nama itu membuat hatinya bergetar aneh.
“Oh…” Raisa hanya menjawab singkat.
Ada jeda panjang di antara mereka, hanya suara keyboard dan detak jam dinding yang terdengar.
Aditia akhirnya bicara lagi, lebih pelan.
“Rai…”
Raisa berhenti mengetik.
“Hmm?”
“Kadang aku mikir, apa Jogja itu cuma kebetulan… atau tanda.”
Raisa menatap layar, mencoba menelan perasaannya yang mendadak naik ke tenggorokan.
“Kalau pun tanda, Dit… tanda itu bukan buat dilihat terlalu lama. Takutnya, kita lupa arah pulang.”
Hening.
Aditia menunduk, menatap cincin di jari Raisa.
“Pulang, ya…” gumamnya, lirih. “Kamu beruntung punya tempat buat pulang.”
Raisa menatapnya sekilas, mata mereka bertemu sepersekian detik—cukup untuk saling mengerti tanpa kata.
Malam itu, Raisa pulang lebih dulu. Dalam perjalanan, ia membuka chat Aditia yang berisi pesan singkat,
“Selamat sampai rumah, Rai.”
Tak ada emoji. Tak ada kata tambahan.
Tapi Raisa tahu, kalimat itu lebih hangat dari apa pun yang menunggu di rumahnya malam itu.
Komentar
Posting Komentar