Label

Rabu, 23 Maret 2016

Hatimu, Bukan Aku

Masa lalu ialah hal pertama yang ingin gue hilangkan dari ingatan gue setahun belakangan ini. 

Proses peng 'hilangan ingatan' itu pun membawa gue berkenalan dengan seorang lelaki yang memang belum pernah gue kenal sebelumnya, he's my bestfriend's friend

Sejak seseorang di masa lalu itu, tidak sedikitpun hati gue tergerak untuk membuka hati buat seseorang baru, entah kenapa seseorang ini datang dan membuat gue ingin tau lebih jauh. 


Singkat cerita, perkenalan pun berlangsung. Di sela-sela masa perkenalan kami, ia sempat menghilang. Karena gue memang belum terlalu 'tertarik' sama dia, gue biasa aja. Easy to come, easy to go. Sampai gue tau, ternyata hal yang membuatnya menghilang ialah karena  a girl in his past, come back

Sebulan, gue udah lupain dia. Sampai pada satu malam sehabis gue nonton konser, masuk pesan di aplikasi chat gue, yang ternyata pesan darinya dengan pertanyaan basa-basi. Well, karena gue rasa biasa aja so gue kasih dia responses as a friend, yang gue bisa. Tanpa gue rencakan, texting di malam itu berlanjut di malam bahkan sampai bulan-bulan berikutnya.

We are dating. Watching a movies. Talk like a best friends. Dan entah sejak kapan, he called me baby, and i do the same to him :) 

Setelah chit chat sama temen gue-yang-juga sahabatnya, he never did it to her. Ya gue pikir sih, kayak kebanyakan lelaki yang emang ngerasa deket sama temen ceweknya dan merasa biasa aja to treat their like that. Dan ketika gue bertanya kemana perginya perempuan masa lalunya itu, temen gue bilang, mereka udah selesai. Well, tanpa memperdulikan peringatan dari kejadian menghilangnya dia yang pertama, ketika awal perkenalan kami, gue melangkah dengan penuh positive thinking.

All passes, so far so good. Like I rediscovered something that had been missing from me a year ago.

I didn't feel that what he was doing, he do it so well. Semua percakapan mengalir secara lancar. 

My conversation with him becomes the highlight of my day. I don't know how to define this feeling but, I like it. And some little part of my heart says, I hope this ends well.

Two months later. Gue merasa tidak bisa mendefinisikan hubungan seperti apa yang sedang gue jalani bersamanya. We don't start with anything. Everything just flows. And somehow, hal itu yang membuat gue merasa takut.

Saat itu, sama dia gue berada pada zona paling nyaman. Hal itu yang membuat gue melawan kenginan hati kecil gue bahkan untuk sekedar mempertanyakan what kind of relationship we're living ? Tapi hati gue yang lain bilang, a mature relationship, don't require a status. Selagi gue nyaman sama dia, dan gue tau, dia pun begitu. Gue tidak memaksakan untuk menagih sebuah kepastian. 


Gue paham resiko nya, ketika someday dia pergi, dia akan pergi. Tanpa perlu minta izin dari gue, tanpa perlu say anything to me, if he wants to go, then he will leave me. Gue selalu menguatkan hati gue dengan pernyataan itu, bahwa we 're nothing.

Sampai pada satu titik, finally, he did it, leave me.

Tanpa perlu gue jelasin terlalu jauh, intinya, dia kembali bersama seseorang di masa lalunya yang ternyata belum sepenuhnya dia lupakan.

Hell yeah, jadi selama ini, what he did to me ?
Pelarian, I guess

Ketika dia tidak bisa bersama orang itu, dan disini ada gue, yang dengan tangan lebar menerimanya tanpa mengharapkan apa-apa darinya, bahkan hanya sekedar berharap ia tinggal dan mengakhirinya dengan baik. 

I don't know. Kadang gue kira, gue terlalu baik. Kadang gue pikir, gue juga terlalu bodoh. Sedikit lagi, dia bisa bikin gue pergi dari masa lalu gue, sedikit lagi, dia berhasil bikin gue melupakan masa lalu gue. 

Tapi ternyata, gue yang tidak bisa membuat nya berlalu dari masa lalunya. 

Gue menyadari sepenuhnya kalau ternyata dia belum benar-benar 'pindah' dari rasa nyaman yang sudah muncul dari hubungan sebelumnya.

Terkadang gue pikir, Tuhan sedang bercanda. Mengetahui ada satu umat-Nya yang sedang berbahagia, lalu dia mengubahnya begitu saja.

Setelahnya gue tau, bahwa dia kembali bersama masa lalunya, without saying anything to me, without permission, without explanation, dia pergi begitu saja.

Dan dengan legawa, gue pun memutuskan untuk menjaga jarak, deleting all of his contact. Mengurangi interaksi dengannya. Kemudian melangkah pergi dengan perasaan yang tidak bisa gue jelaskan. It's hurt, so much.

Tapi kemudian gue kembali berpikir bahwa dari awal, gue yang menginginkan semuanya, gue yang membiarkan semuanya, dan gue juga yang memutuskan semuanya. 

Seharusnya, sebuah kepastian jika tidak diberikan, kamu bisa menagihnya atau memutuskan pergi darinya, jangan berada diantara itu. 

Tapi, gue tidak melakukannya. 

Entah apa rencana Tuhan, menjatuhkan hati gue kepada sebuah hati yang ada pemiliknya.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar