Label

Kamis, 21 April 2016

Let Me Go

Aku menatap laki-laki yang sedang duduk dihadapanku ini, ia tampak sangat menikmati ice cream vanilla yang dipesannya. Ku amati wajah itu, wajah yang senyumnya mampu menenangkan hatiku, wajah yang tatapannya mungkin mampu meluluhkan bongkahan es di kutub utara sana. 

"Kenapa ngelihatin aku begitu sih Syil", tampaknya ia sadar sedang diperhatikan. Aku hanya tersenyum.
"Nggak papa kok kak", jawabku. Aku kembali menikmati ice cream chocolate kesukaanku dengan tetap memperhatikannya secara diam-diam. Ia sedang memainkan jarinya diatas screen handphone pintar miliknya. Tidak perlu aku mencari tau, aku sudah sangat tau apa yang ia lakukan. Aku menghela napas panjang.
Aku sungguh tidak mengerti perasaan apa yang sedang aku rasakan pada seniorku ini. Kerja sama yang mengharuskan kami selalu berkomunikasi dulunya, masih berlangsung sampai sekarang bahkan ketika acara yang kami tangani berdua itu telah lama sekali berakhir, namun entah mengapa hubungan ini belum juga berakhir. Mungkin lebih tepatnya, aku tidak mau ini semua benar-benar berakhir.
Tunggu. Apa ? Aku menyebutnya sebagai sebuah 'hubungan' ? Mungkin aku sudah gila. Aku cepat-cepat menghabiskan ice cream dihadapanku, berusaha mengenyahkan pikiran itu.
"Syil, kakak ada keperluan mendadak nih. Duh, gimana ya, Syila nggak papa pulang sendiri?" tanyanya tiba-tiba.
Bahkan aku sudah tau ujungnya akan seperti ini, lagi. Aku tersenyum. "Iya gapapa lah. Aku bisa pulang sendiri kok kak", jawabku.
"Ya udah, hati-hati ya. Kalo udah sampai nanti hubungin aku Syil". Aku jalan dulu", pamitnya. Aku tersenyum tipis. Bahkan disaat seperti inipun ia masih bisa memintaku untuk menghubunginya dan bodohnya, aku yakin aku akan memenuhi permintaannya nanti.
Satu jam aku habiskan di caffe ini, aku tidak berniat untuk pulang hanya karena tidak ingin menghubunginya jika aku sudah sampai di rumah. Aku membuka akun path milikku, lalu tersenyum masam. 
Fatir Satriya -> with Anabel at Starbuck Coffee Senayan City 2
Aku menutup aplikasi berbagi momen tersebut. Entah kenapa dadaku terasa sesak, aku tidak tahu itu rasa cemburu, marah, atau apa namanya, yang pasti rasa seperti ini sudah sering aku alami gara-gara kakak itu. Aku ingin marah, marah pada diriku sendiri yang ternyata sudah jatuh hati padanya.
***
Satu minggu ini aku berusaha menghindari Kak Fatir dan hasilnya adalah aku berhasil membuat sahabat-sahabatku menyesal memberiku saran untuk melakukan ini karena yang ku lakukan selama satu minggu hanya marah-marah dan uring-uringan tidak jelas.
"Lo kenapa Syil, ada masalah sama Fatir?" tanya Fira. Saat itu kami sedang menginap di rumah Windy demi mengerjakan tugas mata kuliah yang hanya bernilai 1 sks tapi kami akan merasa sangat berdosa jika tidak mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.
"Iya nih Syila, ada masalah sama Fatir kita yang kena imbasnya", Windy menimpali yang juga seharian ini kena marah Syila.
"Gue ngikutin saran kalian semua, gue mengurangi intensitas komunikasi gue sama Fatir", jawabku tidak bersemangat.
"Terus, Fatir nggak ada hubungin lo lagi ? Udah bener-bener berhenti?" tanya Windy penasaran.
Aku menggeleng. Fira meraih handphone ku dan membaca history chatku dengan Kak Fatir. Tak lama kemudian ia melemparkan handphone itu kembali dihadapanku.
"Yaelah Syilla, itu sih intensitasnya sama", ucap Fira. Aku memang tidak bisa menghentikan komunikasi kami. Aku sudah benar-benar merasa nyaman dengannya. Ia yang umurnya lima tahun lebih tua dariku benar-benar bisa mengimbangi sifat kekanakan yang kumiliki. Ia dewasa dan bersamanya membuatku bisa memandang hidup dengan kacamata yang lebih luas lagi. Handphone ku bergetar dengan nama Kak Fatir tertera dilayar depannya.
"Hallo".
"Dih, diangkat juga", samar-samar aku mendengar suara Windy. Aku keluar kamar demi bisa berbicara dengan Kak Fatir tanpa diganggu oleh kicauan Fira dan Windy.
“Loh loh, mau kemana ?” tanya Windy bingung melihatku mengambil cardigan dan memoleskan make up tipis diwajahku seusai aku menerima telpon dari Kak Fatir
“Fatir ngajakin pergi”, jawabku singkat.
Fira berdecak. “Katanya mengurangi intensitas komunikasi, ehh tetep aja jalan bareng”, celetuknya disambut tawa Windy. Aku hanya mengangkat bahu. Aku juga tidak mengerti kenapa aku seperti ini, menghindari Fatir adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan saat ini.
Satu jam kemudian kami sudah duduk di sebuah caffe yang ada di GI. Aku hanya memesan makanan ringan karena sebenarnya aku sudah kenyang. Fatir tampak memesan chicken katsu favoritnya.
“Makasih ya Syil udah mau nemenin aku makan”, ucapnya. Aku hanya tersenyum, tak berapa lama pelayan mengantarkan pesanan kami dan kami makan dalam diam.
“Kak, pacar kakak tau nggak kakak pergi gini?”, tanyaku, berusaha santai sambil mengunyah kentang goring pesananku. Kak Fatir tampak kaget mendengar pertanyaanku.
Ia meneguk air minumnya. “Hmm..kenapa kamu nanya gitu?”, ia malah balik bertanya.
Aku menarik napas sejenak. “Kakak nggak usah lagi pura-pura seolah-olah aku gak tau pacar kakak. Kakak nggak usah bohong lagi sama aku. Jujur aku capek kak.” Entah kenapa aku ingin mengutarakan semuanya malam ini, aku sudah lelah.
“Setiap kali kakak ngajak aku pergi yang pada akhirnya harus berakhir aku pulang sendiri, lalu aku lihat di path kakak, kakak lagi jalan sama pacar kakak, jelasin ke aku, aku harus gimana kak?”, tanyaku dengan suara bergetar. Kak Fatir berusaha meraih tanganku namun aku mengelak.
“Aku benci dengan keadaan ini Kak. Aku nggak ngerti mendeskripsikan hubungan kita ini kayak apa. Bahkan apa ini pantas disebut sebuah hubungan ? Kakak punya pacar dan kakak juga sering sama aku. Apa kakak nggak menghargai pacar kakak?”, aku menatap matanya dan menemukan kegelisahan disana. Aku mendengus kesal.
“Aku capek pura-pura nggak punya perasaan sama kakak. Aku capek pura-pura nggak jatuh cinta sama kakak dan aku juga capek cemburu sama pacar kakak”, ucapku lirih.
“Memang ini salah aku Syil. Nggak seharusnya aku kayak gini, tapi jujur aku juga bingung. Aku sayang pacar aku, aku menghargai dia. Tapi jauh sebelum itu, sebenarnya aku udah suka sama kamu, aku sayang sama kamu”, ucapnya sungguh-sungguh. “Aku hanya merasa, dulu kamu terlalu sulit diraih hingga pada akhirnya aku ketemu Abel dan nggak berapa setelahnya aku bisa dekat sama kamu.”
Aku menahan rasa panas dimataku. “Aku nggak bisa gini terus kak, kakak harus ingat, aku juga punya hati.”
“Lalu kamu mau aku gimana ? Karena jujur aku nggak tau harus gimana. Aku nggak mungkin ninggalin Abel, Syil-“.
“Kalau gitu tinggalin aku Kak”, potongku cepat. Aku tau sudah saatnya ini diakhiri. Aku tidak pernah punya cita-cita menjadi yang kedua yang ada dihati seseorang. Aku tidak pernah punya mimpi kelak jika aku mencintai seseorang, aku hanya dijadikannya rumah kedua tempat ia hanya singgah. Aku bukan persinggahan.
“Dan itu juga nggak bisa aku lakukan Syila”, ucapnya lirih.
“Kakak jangan egois. Aku nggak akan minta kakak buat ninggalin pacar kakak. Jadi biarin aku yang pergi dari kehidupan kakak karena memang seharusnya udah dari dulu kita ini selesai.” Aku menarik napas panjang. “Aku sudah bikin keputusan ini dan aku harap kakak menghargai apa yang aku pilih, untuk kali ini aja”, aku meminta.
“Satu pesan aku kak, aku minta mulai sekarang kakak menghargai apa yang udah kakak miliki karena kita nggak akan pernah tau jika hal itu adalah hal terindah yang udah Tuhan kasih untuk kita.” Aku tersenyum kemudian beranjak pergi meninggalkan caffe itu, meninggalkan Kak Fatir dan seluruh kenangan itu.

Aku menangis sejadi-jadinya diperjalanan pulang. Sakit rasanya hati ini, tapi biarlah, toh rasa sakit ini cepat atau lambat memang akan aku rasakan, hanya masalah waktu, dan waktu jua lah yang kelak akan menyembuhkan luka ini perlahan, aku yakin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar