Sepagi ini saya putuskan untuk menembus udara jakarta yang teramat dingin menusuk tulang, selagi jalanan ibu kota tak sepadat jam-jam setelah ini. Susah memang menjadi bagian dari bagian kota metropolitan. Disaat otak sudah rusuh dipenuhi masalah-masalah kantor, ditambah lagi harus menghadapi kemacetan jalan setiap harinya, rasanya ingin sekali menjauh dari hiruk pikuk semua ini. Mungkin ke Sumedang, Aceh, atau mungkin ke ujung timur Indonesia, Papua.
Setelah sekian menit saya habiskan membelah jalanan lengang kota Jakarta, akhirnya saya sampai di basement sebuah kantor yang sudah beberapa bulan ini menjadi tempat saya mencari uang.
Sepersekian detik sebelum saya membuka mobil untuk turun, saya bergeming melihat parkiran di sebelah mobil saya masih kosong. Perasaan ini kembali mengusik kotak terdalam hati saya. Pada hari-hari sebelumnya parkiran disebelah ini selalu menjadi tempat favorit mobil swift putih beristirahat menunggu pemiliknya. Namun, sejak beberapa hari yang lalu parkiran ini nampak dihuni oleh pemilik mobil lain. Saya menghembuskan nafas panjang. Tak seperti biasanya, akhir-akhir ini pikiran saya di pahi hari selalu ruwet. Saya pun tak bisa menelaah hal macam apa yang sedang terjadi pada diri saya.
Saya lanjutkan dengan berjalan menuju lobby kantor. Lagi-lagi, sepersekian detik kaki saya berhenti di tengah-tengah lobby dan memandang sofa merah maron yang ada dihadapan saya nampak kosong. Sebelumnya, sofa tersebut selalu menghadiahi saya sebuah semangat pagi yang teramat indah semenjak saya memasuki pintu lobby. Semangat itu lah yang selalu saya bawa setiap harinya saya bekerja di kantor ini. Namun, sejak beberapa hari yang lalu saya tak pernah lagi melihat kehadirannya menyambut saya. Saya tak pernah lagi melihat senyum manis itu. Senyuman manis yang bagaikan candu memabukkan saya. Senyuman manis bagaikan kopi di pagi hari yang membuat otak hati dan pikiran saya terasa sangat berbeda. Manisku, saya kehilangan kamu..
Dengan langkah gontai saya kembali melangkahkan kaki menuju ruangan saya. Ruangan yang selalu membuat saya betah berada di dalamnya, karna senyuman manis itu pun mengikuti saya sampai ke ruangan ini. Namun kali ini hanya ruangan yang terisi oleh beberapa karyawan dengan kesibukan di pagi hari yang menurut saya hal itu tidak wajar dilakukan. Sepagi ini mereka sudah berkutat dengan laptop hanya untuk mengejar deadline yang sebenarnya sungguh sangat mematikan saya. Huh. Mereka seperti mesin uang saja, saya membatin seraya menghempaskan tubuh ke kursi empuk yang sengaja saya beli untuk membuat tubuh saya terasa nyaman jika harus seharian duduk bekerja.
Tak jauh dari meja saya berada, meja itu masih kosong. Meja yang penuh dengan foto-foto pemiliknya. Meja yang dihiasi pernak-pernik hello kity itu terasa sangat hidup, seperti pemiliknya yang berhasil membuat saya benar-benar hidup ketika pertama kali bertemu dengannya. Ah, saya bisa gila jika harus seperti ini setiap hari. Saya membuang jauh-jauh segala kegelisahan yang sejak beberapa hari yang lalu menggelayuti hati dan pikiran saya, dengan memulai hari ini menjadi mesin uang seperti karyawan-karyawan yang lainnya.
Stiletto hitam itu mengalihkan pandangan saya dari layar laptop yang sejak tadi saya tekuni. Sungguh tak berani saya menatap pemilik kaki jenjang itu. Baru setelah dia lalu beberapa langkah dari meja, saya menatap punggung tegap yang berjalan santai seperti biasanya. Dengan rok hitam selutut dan blazer putih yang ia kenakan, sudah bisa saya pastikan wajah pemilik kaki jenjang itu teramat manis walaupun tanpa make-up sekalipun. Oh Tuhan, betapa sempurnanya makhluk yang Kau ciptakan untuk mengisi hari-hari ku ini. Sekian detik kemudian saya tersadar dari pesona indah makhluk hawa ciptaan Tuhan tersebut. Seandainya saya memiliki keberanian untuk itu. Untuk meminta maaf. Dan untuk mengatakan.
***
Disaat jam makan siang seperti ini, ruangan kantor tampak lengang. Mungkin karyawan yang lain sedang mengisi amunisi mereka yang hampir habis karena telah bertempur memeras otak dengan deadline-deadline yang menghantui mereka setengah hari ini. Saya mengedarkan pandangan saya ke sekeliling ruangan, dan kemudian pandangan itu tertumbuk pada seorang wanita yang sedang asyik menekuni pekerjaannya. Sekilas tampak bibir wanita itu menyunggingkan senyum, dan setelahnya lagi tampak wanita itu tertawa geli sendiri. Desiran aneh mengalir begitu saja melihat tawa kecil wanita itu. Desiran yang membuat aliran darah saya terasa memanas dan membuat degupan jantung saya bekerja lebih cepat dari biasanya. Entah keberanian yang datang darimana, saya melangkahkan kaki menuju meja wanita itu.
Wanita itu tampak bergeming dengan kehadiran saya, masih asyik dengan laptop yang ia mainkan sejak tadi. Mungkin sejak awal aktivitas perkantoran dimulai, disaat karyawan yang lain berkutat menjadi mesin uang, wanita ini memilih jalan yang berbeda. Ya, dia memang sangat spesial.
"Ehm..", saya berdehem memberi kode. Namun tak ada respon dari wanita itu.
"Ehmmm ", saya memperkeras volume deheman yang saya keluarkan.
Dagu wanita itu terangkat. Wajah nya sangat bersinar bak intan yang baru diasah. Dengan rambut-rambut halus yang terjuntai jatuh menutupi dahinya, kesempurnaan makhluk Tuhan yang satu ini benar-benar mengagumkan saya.
"Ada apa ?", tanyanya sedingin es. Tatapan yang sangat kontras saat dia sedang asyik bermain laptop. Tak ada senyum, apalagi canda tawa seperti yang sering ia lontarkan.
"Enggak. Saya lihat kamu dari tadi sibuk sama kerjaan kamu. Nggak makan siang ?", entah kalimat apa yang meluncur dari mulut saya, saya pun tak tahu.
Dahi wanita itu berkerut. "Enggak. Udah kenyang. Lagian banyak kerjaan juga", sahutnya singkat.
"Ooh gitu. Tapi tidak baik meninggalkan jam makan siang saat seperti ini, di saat pekerjaan deadline menumpuk. Amunisi kamu nanti bisa habis", entah kalimat macam apa lagi yang saya lontarkam. Deadline ? Amunisi ? Ohh saya rasa, saya benar-benar sudah gila.
Wanita itu menutup laptop dihadapannya dan kemudian bangkit dari tempat duduk.
"Saya akan pergi jika kamu tidak menginginkan saya berada satu ruangan berdua dengan kamu", bisiknya dingin tepat di telinga saya. Tubuh ini terasa kaku, darah yang berdesir hangat yang saya rasakan tadi seakan berkamuflase menjadi bongkahan es yang siap membekukan saya kapan saja.
Dengan sigap saya meraih lengan wanita itu setelah dia melangkah jauh beberapa langkah.
"Saya minta maaf", saya memberanikan diri menatap jauh ke dalam manik mata itu. Mata hitam yang sangat indah. Didalamnya saya temukan kedamaian, kedamaian yang sangat ingin saya miliki.
Wanita itu menepis. "Udah lah. Gak ada yang perlu dimaafin kok. Aku ngerti, amat sangat mengerti", ucapnya enggan. Dia berbalik dan membalas tatapan tajam saya. "Besok saya resign. Dan kamu bisa bebas bekerja tanpa merasa terganggu sedetikpun". Setengah berlari dia meninggalkan ruangan ini. Meninggalkan saya sendiri yang masih tertegun mendengar apa yang dia ucapkan, apa yang telah dia putuskan. Apalagi ini ?
Saya merasa lelah dengan semuanya dan kemudian terduduk di kursi dengan sandaran leher hello kity itu. Menelusuri tiap foto yang terpampang dihadapan saya. Di setiap foto, dia selalu menyunggingkan senyum yang sama. Manis. Ada fotonya saat jaman SMA, ada foto dengan keluarga, ada foto dengan teman-teman kantor, dan ada foto yang membuat mata saya mulai memanas. Di foto itu saya beridir berdampingan dengannya, lalu dia melingkarkan tanda love dengan spidol merah. Senyumnya semakin terlihat manis di foto itu. Saya ingat foto itu diambil saat pertama kali saya memasuki bagian dari salah satu divisi di kantor ini. Dia yang memaksa saya mati-matian untuk berfoto. Dia yang membuat penyambutan kecil-kecilan untuk saya. Masih teringat jelas ucapan yang dia lontarkan beberapa bulan yang lalu.
"Ayolah Wo. Foto sebentar aja. Kan kamu tinggal berdiri, menghadap kamera, trus cheers".
Saat itu dia tersenyum sangat lucu. Senyuman itulah yang kemudian menghipnotis saya dan membuat saya mulai mengagguminya. Hingga sekarang. Hingga detik ini.
Ingin sekali memberanikan diri mengajaknya kencan di saat weekend. Memberinya buket bunga mawar pertanda saya benar-benar mengaguminya. Atas segala perubahan yang telah dia buat selama ini dalam hidup saya. Tapi saya sungguh tidak bisa. Banyak hal yang belum dia ketahui sebelum saya bertemu dengannya. Saya adalah orang yang kolot, perfectionis. Sebelumnya saya tidak pernah betah selama berbulan-bulan bekerja di kantor yang saya rasa aturan dan sistem kerjanya tidak cocok dengan prinsip dan aturan hidup yang saya buat. Tapi dia berhasil membuat saya bertahan di kantor ini. Kantor yang sejak beberapa minggu saya bekerja, sebenarnya saya sudah merasa amat sangat tidak nyaman dengan sistem kerja mereka. Sebelum bertemu dengannya, saya adalah orang yang tidak mengenal perempuan. Maksudnya, dimata saya semua perempuan itu sama. Bekerja dengan dandanan menor hanya untuk mencoba mencari jodoh di tempat dia bekerja. Attitude mereka yang seperti itu nol besar bagi saya, sehingga saya menganggap semua perempuan sama. Tapi sejak bertemu dengannya saya berhasil membuang jauh pikiran-pikiran itu. Dia sangat lain. Dia pekerja keras walaupun saat saya mencuri kesempatan menatap wajahnya, ada wajah lelah yang tersirat. Namun pada dasarnya dia riang dan bisa menghidupkan suasana ruangan kantor ini menjadi benar-benar hidup dengan segala celotehannya. Hal yang kadang menjadi bahan sirikan wanita-wanita lain yang tidak memiliki sifat sepertinya.
Dan bagian yang paling penting adalah dia satu-satunya wanita yang berhasil membuat saya jatuh cinta. Ya. Jatuh cinta untuk yang pertama kalinya sejak bertahun-tahun lamanya. Sejak saya dikhianati oleh wanita yang amat saya cintai. Dia berhasil mengikis sedikit demi sedikit perasaan trauma dan kecewa yang menghantui hati dan pikiran saya. Dia dia dan dia. Saat ini hanya dia yang benar-benar saya butuhkan.
Runtuh pertahanan saya selama ini mendengar keputusan yang dia buat. Resign ?
Apakah perkataan saya beberapa hari yang lalu teramat menyakiti hati wanita yang sangat saya cintai itu ? Dan apakah hal ini yang dia maksud dengan "Saya tidak akan pernah menganggu kamu lagi " ?. Ada hal yang tak terucap yang terkadang menimbulkan kesalah pahaman. Hal sebaliknya yang saya rasakan dari sikap dingin yang selama ini saya tunjukkan dihadapannya. Mungkin saya salah. Merasa jengah dengan kehadirannya padahal saya sangat mengharapkannya. Merasa terganggu dengan celotehannya yang sering menganggu saya, padahal saya sangat menyukainya. Hanya, saya bukan lah seperti pria pada umumnya. Saya bukan tipe pria yang romantis. Saya bukan tipe pria yang bisa mengerti perasaan wanita. Saya tidak bisa mengerti perasaannya terhadap saya. Jangankan mengerti perasaannya, mengerti perasaan saya sendiri saja saya tidak mampu. Apa yang saya harapkan, apa yang saya inginkan, saya tidak mampu mewujudkannya menjadi kenyataan.
Seandainya dia tahu bagaimana perasaan saya terhadapnya. Perasaan rindu yang membuncah di saat dia berhenti menguntit saya dari lobby kantor. Perasaan kangen yang menggerogoti hati saya perlahan di saat senyum manis yang sering saya lihat berganti menjadi tatapan dingin yang saya tak mengenalinya lagi sebagai wanita yang saya kagumi sejak beberapa bulan yang lalu. Dan seandainya dia mengetahui bagaimana saya benar-benar mencintainya. Terkadang, yang tak terucap menjadi sangat menyakitkan.
Yang tak terucap adalah hal memilukan bagi saya saat ini. Seandainya hanya dengan tatapan mata saja dia dapat mengerti bagaimana perasaan saya terhadapnya. Bagaimana saya memintanya untuk tetap tinggal disini, di kantor ini, dan di hati ini.
Seandainya yang tak terucap bisa dengan mudah di pahami olehnya tanpa perlu saya mengatakan sebuah pernyataan cinta. Namun terkadang, pernyataan cinta itu benar-benar perlu untuk dikatakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar