Luki Pradipta & Ines Anastasya.
Aku cukup bahagia melihat goresan tinta hitam melukiskan namanya dengan wanita yang paling dicintainya. Aku hanya ingin memeluknya dalam kebahagiaan, walaupun aku tak pernah bisa ikut merasuk dalam kebahagiannya.
Sore ini berlapiskan awan senja nan elok, gambaran kebahagiaan alam menyambut kebahagiaan lelaki ku. Aku berdandan secantik yang aku mampu, dengan dress sepanjang mata kaki berwarna putih, sesuai dengan dresscode acara, dan rambut yang sengaja ku biarkan tergerai melengkapi make-up minimalis ku kali ini. Aku melangkah mantap memasuki tempat teristimewa itu. Aku sudah yakin untuk mengikuti prosesi pernikahan ini. Bagaimana mungkin, lelaki ku akan menikah tapi aku tidak berhadir demi bisa merasakan kebahagiannya ? Aku sudah cukup tegar menopang segala bentuk perasaan yang meluap jauh dari dalam hati ini. Sudah cukup beberapa malam kemarin kuhabiskan hanya dengan mengurung diri di kamar, menangisi penyesalanku yang tidak akan pernah bisa terulang kembali.
" Maura ". Seseorang memanggilku ketika aku hendak memasuki area tempat pernikahan.
Aku berbalik dan mendapati malaikatku telah berdiri dibalut dengan stelan jas putih yang membuatnya sangat tampan. Sepersekian detik aku merasakan hatiku kembali berdenyut. Entah ini denyutan kebahagiaan, atau sebaliknya.
"Eh, ngapain lo disini Luk ?", tanyaku menghampirinya. Ku betulkan letak bunga kecil yang menempel pada sudut kanan jas yang ia kenakan. "Buruan sana masuk, bentar lagi kan prosesi pernikahan lo bakalan dimulai", ucapku sambil melirik jam yang sebentar lagi akan menunjukkan pukul 18.00, tepat 15 menit lagi sebelum acara akan dimulai.
"Kamu cantik Maura", aku tak bisa menghindar dari sorot tajam matanya yang tepat menghunus tempat paling rentan yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Kali ini, tatapan itu menghancurkan segala bentuk pertahananku.
"Udahlah Luk. Kalo lo gak mau masuk sekarang, gue duluan ya", aku memtuskan ingin segera mengakhiri percakapan yang semakin lama akan semakin meruntuhkan pertahanan yang telah aku bangun beberapa hari ini, hanya untuk menghadiri prosesi pernikahannya.
"Tunggu Maura. Gue pengen ngomong", tandasnya dan cepat menarik lenganku untuk menjauh dari kerumunan orang yang semakin lama semakin padat.
Aku tak tau apa maksudnya memilih gedung ini sebagai tempat prosesi pernikahannya. Gedung yang menjadi gedung impianku untuk ku menikah kelak, yang pernah aku sampaikan padanya. Dibelakang gedung ini, aku ingin sekali mengadakan resepsi pernikahan, ditengah hamparan langit senja yang menjadi atapnya, dan pemandangan kota dibawah tebing sana, menjadi salah satu tempat yang ingin sekali ku jadikan sejarah hidupku.Tapi kenapa dia mengambilnya dariku ?
"Ngapain sih Luk, ngomong apa ? Ines nyariin lo ntar", ucapku tak sabar menghadapi tingkah Luki yang membuat ku bingung.
"Lo bahagia nggak Ra ?", ia berucap tenang namun sanggup meluluh lantakan segala perasaan yang sudah semakin tak beraturan ini.
"Ma.. Maksud lo apa ?", aku menghindar dengan mencoba menerawang menatap indahnya Tuhan melukiskan langit senja sore itu.
"Lo bahagia gak kalo gue menikah sama Ines ?".
Aku mendorong bahunya pelan dan tertawa. "Ngaco lo. Ya gue bahagia lah, gimana mungkin sih gue gak bahagia ngelihat sahabat terbaik gue ini mendapatkan wanita impiannya dan akan membangun sebuah keluarga yang selama ini dia impikan", jawabku dengan sekuat mungkin. Sedikit saja aku lengah, tetesan air mata ini akan segera meluncur deras menghaliri pipiku.
Aku melihatnya termenung. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Aku melirik jam dan mendapati waktu telah berlalu selama 10 menit.
"Luk ayo masuk, ini pernikahan lo udah mulai bentar lagi. Gimana bisa sih mempelai laki-lakinya gak ada ditempat? Gue yakin nih orang-orang didalam sana pasti lagi ribut nyariin lo", sergahku sambil berusaha menyeretnya untuk segera memasuki gedung pernikahan.
"Maura Maura", dia menghentikan langkahku. " Gue harap lo bisa menemukan pengganti gue ya ? Orang yang lebih tepat untuk ada disisi lo ", ucapnya dengan suara parau.
"Maksud lo apa sih ?", aku mengucapkannya dengan nada tinggi, berusaha menaikkan emosi ku agar semata-mata untuk membuatnya berhenti mengucapkan kata-kata seperti itu lagi.
"Udahlah lo gak usah bohong Ra. Dua hari yang lalu gue ke rumah lo, dan saat itu ibu lagi nangis. Beliau nyeritain semua yang terjadi sama lo semenjak gue bilang gue pengen tunangan dan pada akhirnya akan menikah sama Ines. Mulai dari lo ngurung diri di kamar, lo gak mau makan, lo gak mau kerja. Dan pada saat itu gue langsung tau kemana perginya lo selama sebulan setelah gue bilang semua keinginan gue itu sama lo, dan akhirnya muncul lagi dihadapan gue berlagak kuat dengan ngebantu gue sama Ines nyiapin segala persiapan pernikahan gue". Aku hanya bisa menutup mulut agar suara tangisan ini tidak meledak dan akan menimbulkan kekacauan jalannya acara, sudah cukup diriku saja yang kacau, aku tak ingin membuat keadaan sekarang menjadi tambah kacau.
"Trus, trus mau lo sekarang apa ? ", tanyaku lirih bahkan hampir berbisik.
"Lo cinta kan sama gue ? Lo cinta kan Ra ?", dia mengguncang-guncang bahuku dan menatap tajam ke arahku. Sunggu aku tak mampu membalasnya, aku tak berani menjawabnya.
"Udah gak bisa lagi Luki. Kalaupun gue bilang gue cinta mati sama lo, ini tuh udah gak bisa lagi", tangisku pecah tak terkendali. "Lo mau apa ? Lo mau batalin pernikahan lo sama Ines dan kabur sama gue, gitu ? Lo pikir gue bakalan ngebiarin lo ngelakuin itu ke Ines ?", air mata ku pun semakin mengucur deras tanpa bisa ku tahan.
Dia memelukku. Erat, sangat erat. Aku ingin sekali membalas dekapannya yang terasa hangat menjalar ke hatiku itu, namun aku tak sanggup. Jiwa dan raga ku sudah teralu lelah dengan semua ini . Aku ingin cepat-cepat mengakhiri semua ini, dan pulang.
"Maafin gue Maura, maafin gue. Maafin atas kebodohan gue selama ini. Seandainya aja gue punya cukup keberanian untuk bilang dari dulu bahwa gue sayang sama lo, gue cinta sama lo, pada akhirnya hari ini akan menjadi hari yang paling membahagiakan untuk kita", ucapnya dengan terisak. Aku merasakan bahuku basah, dia menangis, lelaki ku , orang yang setahu ku adalah orang yang paling kuat yang pernah aku temui selama ini, menangis. "Saat itu.. Saat itu gue terlalu takut untuk kehilangan lo".
"Gue gak apa-apa Luki, gue gak apa-apa. Biarin gue bahagia dengan cukup melihat lo bahagia sama Ines. Gue udah amat sangat bahagia kok. Gue bahagia punya lo sebagai sehabat gue. Gue bahagia punya lo sebagai orang yang sejak kecil berdiri paling depan ngejagain gue. Gue bahagia punya lo sebagai pahlawan bertopeng gue ", aku melepaskan dekapan Luki, sekaligus melepaskan dekapan terhangat yang pernah aku rasakan.
"Liat gue ", aku menatap tajam matanya yang kini sudah sembab. "Lo, Luki Pradipta, sebentar lagi bakalan punya hidup baru bersama wanita yang selama ini jadi impian lo, Ines Anastasya, dan gak ada seorang pun yang bisa mengacaukan semua itu, apalagi gue ", aku berusaha meyakinkan dia . Ku lihat dia mengusap wajah yang sekarang sudah sangat berbeda dari pertama saat aku melihatnya di halaman gedung tadi.
"Jujur gue bingung Ra. Disatu sisi, gue sangat mencintai lo, di sisi lain gue gak bisa nyakitin Ines. Gue bingung harus pergi kemana, ke lo atau ke Ines ".
"Gue gak pernah meminta lo untuk pergi ke gue Luki", sahutku lirih dengan air mata yang mulai menetes lagi.
"Gue punya satu permintaan", ucapnya.
"Apa ?".
"Izinin gue meluk lo sekali aja, demi melepas semua rasa yang pernah ada selama ini. Demi nenangin hati gue Ra. Setelah itu gue janji bakalan masuk ke dalam dan menjadi seorang Luki yang sangat bahagia dan akan memiliki keluarga yang juga bahagia", pintanya lirih dan aku hanya sanggup mengangguk.
Sedetik kemudian aku telah bisa membalas dekapan hangat lelaki ku, mungkin itu adalah dekapan hangat untuk terakhir kalinya. Tak ada isak tangis, hanya keikhlasan yang aku rasakan sekarang. Mengikhlaskan semuanya terjadi sesuai kehendak Tuhan yang telah dituliskan sebelumnya. Mengikhlaskan untuk melepaskan perasaan ini pergi bersama kicauan burung malam yang berbaris rapi dihamparan langit sana. Terimakasih pernah memberiku pelukan sehangat ini Luki ..
Aku melihatnya termenung. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Aku melirik jam dan mendapati waktu telah berlalu selama 10 menit.
"Luk ayo masuk, ini pernikahan lo udah mulai bentar lagi. Gimana bisa sih mempelai laki-lakinya gak ada ditempat? Gue yakin nih orang-orang didalam sana pasti lagi ribut nyariin lo", sergahku sambil berusaha menyeretnya untuk segera memasuki gedung pernikahan.
"Maura Maura", dia menghentikan langkahku. " Gue harap lo bisa menemukan pengganti gue ya ? Orang yang lebih tepat untuk ada disisi lo ", ucapnya dengan suara parau.
"Maksud lo apa sih ?", aku mengucapkannya dengan nada tinggi, berusaha menaikkan emosi ku agar semata-mata untuk membuatnya berhenti mengucapkan kata-kata seperti itu lagi.
"Udahlah lo gak usah bohong Ra. Dua hari yang lalu gue ke rumah lo, dan saat itu ibu lagi nangis. Beliau nyeritain semua yang terjadi sama lo semenjak gue bilang gue pengen tunangan dan pada akhirnya akan menikah sama Ines. Mulai dari lo ngurung diri di kamar, lo gak mau makan, lo gak mau kerja. Dan pada saat itu gue langsung tau kemana perginya lo selama sebulan setelah gue bilang semua keinginan gue itu sama lo, dan akhirnya muncul lagi dihadapan gue berlagak kuat dengan ngebantu gue sama Ines nyiapin segala persiapan pernikahan gue". Aku hanya bisa menutup mulut agar suara tangisan ini tidak meledak dan akan menimbulkan kekacauan jalannya acara, sudah cukup diriku saja yang kacau, aku tak ingin membuat keadaan sekarang menjadi tambah kacau.
"Trus, trus mau lo sekarang apa ? ", tanyaku lirih bahkan hampir berbisik.
"Lo cinta kan sama gue ? Lo cinta kan Ra ?", dia mengguncang-guncang bahuku dan menatap tajam ke arahku. Sunggu aku tak mampu membalasnya, aku tak berani menjawabnya.
"Udah gak bisa lagi Luki. Kalaupun gue bilang gue cinta mati sama lo, ini tuh udah gak bisa lagi", tangisku pecah tak terkendali. "Lo mau apa ? Lo mau batalin pernikahan lo sama Ines dan kabur sama gue, gitu ? Lo pikir gue bakalan ngebiarin lo ngelakuin itu ke Ines ?", air mata ku pun semakin mengucur deras tanpa bisa ku tahan.
Dia memelukku. Erat, sangat erat. Aku ingin sekali membalas dekapannya yang terasa hangat menjalar ke hatiku itu, namun aku tak sanggup. Jiwa dan raga ku sudah teralu lelah dengan semua ini . Aku ingin cepat-cepat mengakhiri semua ini, dan pulang.
"Maafin gue Maura, maafin gue. Maafin atas kebodohan gue selama ini. Seandainya aja gue punya cukup keberanian untuk bilang dari dulu bahwa gue sayang sama lo, gue cinta sama lo, pada akhirnya hari ini akan menjadi hari yang paling membahagiakan untuk kita", ucapnya dengan terisak. Aku merasakan bahuku basah, dia menangis, lelaki ku , orang yang setahu ku adalah orang yang paling kuat yang pernah aku temui selama ini, menangis. "Saat itu.. Saat itu gue terlalu takut untuk kehilangan lo".
"Gue gak apa-apa Luki, gue gak apa-apa. Biarin gue bahagia dengan cukup melihat lo bahagia sama Ines. Gue udah amat sangat bahagia kok. Gue bahagia punya lo sebagai sehabat gue. Gue bahagia punya lo sebagai orang yang sejak kecil berdiri paling depan ngejagain gue. Gue bahagia punya lo sebagai pahlawan bertopeng gue ", aku melepaskan dekapan Luki, sekaligus melepaskan dekapan terhangat yang pernah aku rasakan.
"Liat gue ", aku menatap tajam matanya yang kini sudah sembab. "Lo, Luki Pradipta, sebentar lagi bakalan punya hidup baru bersama wanita yang selama ini jadi impian lo, Ines Anastasya, dan gak ada seorang pun yang bisa mengacaukan semua itu, apalagi gue ", aku berusaha meyakinkan dia . Ku lihat dia mengusap wajah yang sekarang sudah sangat berbeda dari pertama saat aku melihatnya di halaman gedung tadi.
"Jujur gue bingung Ra. Disatu sisi, gue sangat mencintai lo, di sisi lain gue gak bisa nyakitin Ines. Gue bingung harus pergi kemana, ke lo atau ke Ines ".
"Gue gak pernah meminta lo untuk pergi ke gue Luki", sahutku lirih dengan air mata yang mulai menetes lagi.
"Gue punya satu permintaan", ucapnya.
"Apa ?".
"Izinin gue meluk lo sekali aja, demi melepas semua rasa yang pernah ada selama ini. Demi nenangin hati gue Ra. Setelah itu gue janji bakalan masuk ke dalam dan menjadi seorang Luki yang sangat bahagia dan akan memiliki keluarga yang juga bahagia", pintanya lirih dan aku hanya sanggup mengangguk.
Sedetik kemudian aku telah bisa membalas dekapan hangat lelaki ku, mungkin itu adalah dekapan hangat untuk terakhir kalinya. Tak ada isak tangis, hanya keikhlasan yang aku rasakan sekarang. Mengikhlaskan semuanya terjadi sesuai kehendak Tuhan yang telah dituliskan sebelumnya. Mengikhlaskan untuk melepaskan perasaan ini pergi bersama kicauan burung malam yang berbaris rapi dihamparan langit sana. Terimakasih pernah memberiku pelukan sehangat ini Luki ..
***
Pada akhirnya semua kembali seperti semula. Aku berdiri menghadap hamparan lampu yang ada di bawah tebing, seorang diri. Tampaknya didalam sana prosesi meriah itu tengah berlangsung. Aku meminta izin kepada Luki untuk tetap berada disini, dan memintanya menyampaikan salam ku untuk Ines. Sekuat apapun aku mencoba tegar, aku tak akan bisa tegar melihat di jari manis Ines terlingkar cincin pernikahannya dengan lelaki ku.
Sesakit ini kah cinta ? Sesakit inikah perasaan tak bisa saling memiliki ? Kalaupun iya, aku berterimakasih kepada Tuhan karena telah memberikan rasa sakit yang sedemikian besar ini, karena dengan ini aku yakin akan mampu berdiri lebih tegak dikemudian hari, walau tanpa lelaki ku.
Rasa cinta tidak akan pernah bisa dibuang, sekuat apapun kita membuangnya, sesayang itu lah kita pada perasaan cinta itu. Hanya rasakan dan perlahan biarkan ia mengalir bersama luka yang tercipta, maka perlahan kita akan terbiasa.
end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar