Label

Jumat, 25 Desember 2015

Jarak. Aku Mengalah



Memutuskan untuk tetap berpasangan saat mata tidak saling melihat adalah hal yang luar biasa. Meski untuk menjalaninya perlu sekuat tenaga meredam cemburu. Cemburu pada keramaian, saat melihat sepasang manusia lainnya saling menggenggam tangan,  aku hanya menggenggam angin. Saat hujan sepasang manusia berpayung berduaan, aku berpayung dengan siapa ? Saat Sabtu malam tiba, semua orang keluar merenda kasih, aku hanya jadi penunggu rumah kos, menatap layar laptop sambil memegang tisu. Ketika di dalam cafe semua meja penuh berpasangan, meja miliknya justru selalu menyisakan satu kursi kosong. 


Enam bulan aku menjalani cinta jarak jauh dengan Surya yang sudah membulatkan tekad untuk pergi menuntut ilmu ke Jerman dengan beasiswa yang berhasil ia dapatkan. Aku tersenyum, dibalik semua ini, aku begitu bangga dengan kekasihku itu.

Hari ini, ia akan pulang dari pelatihannya di Jakarta sebelum benar-benar bertolak ke Jerman dan menetap disana selama tiga tahun. Aku menyambutnya dengan gembira. Disamping kekhawatiranku, kegelisahanku, dan semua perasaan yang aku rasakan pada hubungan kami, aku begitu merindukannya.

Sore ini kami menghabiskan waktu di cafe yang ada di sudut kota Bandung. Suasana cafe begitu nyaman, membuat kami betah berlama-lama bercengkrama. Ia menceritakan bagaimana pengalamannya belajar Bahasa Jerman disan, bagaimana persiapan untuk keberangkatannya, dua hari lagi. Ya, dua hari lagi. Aku mendengarkannya dengan penuh perhatian, menatapnya dengan penuh kasih. Kembali, hatiku seakan teriris. Seperti abu-abu, aku menatap hubungan ini di masa yang akan datang. Aku percaya. Setidaknya, mencoba percaya.

Semua orang tahu apa itu LDR. Tapi hanya pelakunya yang mengerti pasti rasanya menjalani kisah cinta jarak jauh. Mereka bahagia tapi kadang juga menderita. Mereka mencoba saling percaya tapi sering tak bisa mengelak dari rasa curiga.

Ia menatapku, menyadari kegelisahan yang tersirat dimataku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku memejamkan mata, kristal-kristal bening itu pun jatuh titik demi titik. Tuhan, aku tidak ingin menangis, pintaku.

Surya mengutarakan satu hal, satu hal yang sudah ia pikirkan dengan matang. Satu hal yang berhubungan dengan bagaimana kelanjutan hubungan kami. Aku mendengarkannya, namun ternyata itu semakin membuat air mataku mengalir dengan deras. Aku terisak. Ia tetap melanjutkannya.

“Raya, aku gak mau gantungin kamu. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku gak tau apa yang akan terjadi selama tiga tahun aku disana dan kamu disini. Aku gak mau kamu nunggu aku, aku sadar, itu seperti menunggu datangnya huja di musim kemarau. Aku gak bisa Ray.”

Hatiku seperti tertusuk jarum. Apa maksudnya ? batinku. Aku hanya menatapnya.

“Aku sudah meminta pada Tuhan. Aku sudah berdoa pada Tuhan agar memberikanku jawaban akan sebuah pilihan. Melanjutkannya atau menghentikannya”, ia menghela napas panjang dan menunduk. Aku menggigit bibir menanti kelanjutan ucapannya. Duniaku perlahan runtuh. 

“Dan jawaban yang aku dapat adalah berhenti”, ucapnya lirih. Air mata itu kembali menetes. Ia pun tidak berusaha menyeka air mata yang terus saja mengalir di pipiku ini. Ia tahu aku terluka.

“Tapi aku bisa nunggu kamu. Kita bisa menjalaninya seperti biasa. Toh selama enam bulan ini aku baik-baik saja kan. Kita baik-baik saja”, ucapku. 

“Aku percaya Ray, kalau kita jodoh. Kita akan ketemu lagi. Aku gak mau kamu nunggu aku. Aku juga akan fokus disana.” 

Sebab jarak hanyalah cara Tuhan menyatukan cinta kita dalam rindu dan doa-doa yang terpanjatkan. Aku menghela nafas. Aku mengerti.

Ketika aku mampu berjalan, ketika aku masih mampu menanggungnya, walau dalam kesakitan yang begitu dalam, tidak akan ada artinya jika kamu tidak mengharapkannya. Karena berjuang itu dua orang, bukan hanya seorang saja. Aku tidak sanggup jika harus begitu.

Bukan waktu yang sebentar semua ini kita jalani. Masa dimana aku mengenal rasa nyaman darimu. Masa dimana aku belajar setia darimu. Kita yang dulu begitu jatuh cinta, saling melengkapi, saling berjuang akhirnya kalah. 

Semua berawal ketika jarak datang di tengah tengah aku dan kamu. Jarak yang datang karena keegoisan mengejar cita cita . Tanpa kamu pikir saat itu bahwa aku harusnya adalah cita cita yang akan menjadi masa depan mu juga yang harus kamu perjuangkan.

Jenuhku datang dan bukan hanya sesekali, tetapi berulang kali. Aku benar benar tertatih menghadapi ini.  Komunikasi kita yang mulai berkurang  adalah awal logika ku terlalu dominan bermain untuk hubungan ini.

Logika ku yang selalu bermain, “apakah mungkin ini bisa berjalan di tengah jarak yang tidak tahu ujungnya?” Tapi perasaan ku selalu berkata, “sayang ku dari dulu sampai sekarang tidak pernah berkurang untukmu”. Entahlah, saat itu waktu ku untuk ada di tengah persimpangan. Kini, kamu membuat persimpangan itu berakhir, terlihat jelas dan nyata.

Tak apa sayang, aku hanya perlu membiasakan diri menjadi wanita mandiri tanpa iming iming kamu yang selalu ada.

***
“Dan akhirnya saat ini, maafkan aku yang telah membuat hubungan ini menggantung tidak jelas.  Saat ku bilang hubungan ini berlanjut pun tidak. Saat ku bilang hubungan ini pun selesai, hati ini tak rela, karna perasaanku masih sama untukmu. Aku masih mencintaimu. Entahlah, aku tak bisa menjawabnya, saat ini aku hanya bisa menyebutmu dalam doa-doa ku. Biar kita lihat “apa yang Tuhan mau untuk hubungan kita”. Sekali lagi, maafkan aku sayang. Maafkan aku yang kalah dengan  jarak.”

Pesan terakhir yang kamu kirimkan sebelum kepergianmu membuatku kembali bergetar menahan tangis. 

Akupun mencintaimu. Berbahagialah dengan impianmu, bahwa kamu akan tetap ada dalam setiap doa-doaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar