Memutuskan untuk tetap
berpasangan saat mata tidak saling melihat adalah hal yang luar biasa. Meski
untuk menjalaninya perlu sekuat tenaga meredam cemburu. Cemburu pada keramaian,
saat melihat sepasang manusia lainnya saling menggenggam tangan, aku hanya menggenggam angin. Saat hujan
sepasang manusia berpayung berduaan, aku berpayung dengan siapa ? Saat Sabtu
malam tiba, semua orang keluar merenda kasih, aku hanya jadi penunggu rumah
kos, menatap layar laptop sambil memegang tisu. Ketika di dalam cafe semua meja
penuh berpasangan, meja miliknya justru selalu menyisakan satu kursi kosong.
Enam bulan aku
menjalani cinta jarak jauh dengan Surya yang sudah membulatkan tekad untuk
pergi menuntut ilmu ke Jerman dengan beasiswa yang berhasil ia dapatkan. Aku
tersenyum, dibalik semua ini, aku begitu bangga dengan kekasihku itu.
Hari ini, ia akan
pulang dari pelatihannya di Jakarta sebelum benar-benar bertolak ke Jerman dan
menetap disana selama tiga tahun. Aku menyambutnya dengan gembira. Disamping
kekhawatiranku, kegelisahanku, dan semua perasaan yang aku rasakan pada
hubungan kami, aku begitu merindukannya.
Sore ini kami
menghabiskan waktu di cafe yang ada di sudut kota Bandung. Suasana cafe begitu
nyaman, membuat kami betah berlama-lama bercengkrama. Ia menceritakan bagaimana
pengalamannya belajar Bahasa Jerman disan, bagaimana persiapan untuk
keberangkatannya, dua hari lagi. Ya, dua hari lagi. Aku mendengarkannya dengan
penuh perhatian, menatapnya dengan penuh kasih. Kembali, hatiku seakan teriris.
Seperti abu-abu, aku menatap hubungan ini di masa yang akan datang. Aku
percaya. Setidaknya, mencoba percaya.
Semua orang tahu apa
itu LDR. Tapi hanya pelakunya yang mengerti pasti rasanya menjalani kisah cinta
jarak jauh. Mereka bahagia tapi kadang juga menderita. Mereka mencoba saling
percaya tapi sering tak bisa mengelak dari rasa curiga.
Ia menatapku, menyadari
kegelisahan yang tersirat dimataku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku
memejamkan mata, kristal-kristal bening itu pun jatuh titik demi titik. Tuhan,
aku tidak ingin menangis, pintaku.
Surya mengutarakan satu
hal, satu hal yang sudah ia pikirkan dengan matang. Satu hal yang berhubungan
dengan bagaimana kelanjutan hubungan kami. Aku mendengarkannya, namun ternyata
itu semakin membuat air mataku mengalir dengan deras. Aku terisak. Ia tetap
melanjutkannya.
“Raya, aku gak mau
gantungin kamu. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku gak tau apa yang akan
terjadi selama tiga tahun aku disana dan kamu disini. Aku gak mau kamu nunggu
aku, aku sadar, itu seperti menunggu datangnya huja di musim kemarau. Aku gak
bisa Ray.”
Hatiku seperti tertusuk
jarum. Apa maksudnya ? batinku. Aku hanya menatapnya.
“Aku sudah meminta pada
Tuhan. Aku sudah berdoa pada Tuhan agar memberikanku jawaban akan sebuah pilihan.
Melanjutkannya atau menghentikannya”, ia menghela napas panjang dan menunduk.
Aku menggigit bibir menanti kelanjutan ucapannya. Duniaku perlahan runtuh.
“Dan jawaban yang aku
dapat adalah berhenti”, ucapnya lirih. Air mata itu kembali menetes. Ia pun
tidak berusaha menyeka air mata yang terus saja mengalir di pipiku ini. Ia tahu
aku terluka.
“Tapi aku bisa nunggu
kamu. Kita bisa menjalaninya seperti biasa. Toh selama enam bulan ini aku
baik-baik saja kan. Kita baik-baik saja”, ucapku.
“Aku percaya Ray, kalau
kita jodoh. Kita akan ketemu lagi. Aku gak mau kamu nunggu aku. Aku juga akan
fokus disana.”
Sebab jarak hanyalah
cara Tuhan menyatukan cinta kita dalam rindu dan doa-doa yang terpanjatkan. Aku
menghela nafas. Aku mengerti.
Ketika aku mampu
berjalan, ketika aku masih mampu menanggungnya, walau dalam kesakitan yang
begitu dalam, tidak akan ada artinya jika kamu tidak mengharapkannya. Karena
berjuang itu dua orang, bukan hanya seorang saja. Aku tidak sanggup jika harus
begitu.
Bukan waktu yang sebentar
semua ini kita jalani. Masa dimana aku mengenal rasa nyaman darimu. Masa dimana
aku belajar setia darimu. Kita yang dulu begitu jatuh cinta, saling melengkapi,
saling berjuang akhirnya kalah.
Semua berawal ketika
jarak datang di tengah tengah aku dan kamu. Jarak yang datang karena keegoisan mengejar
cita cita . Tanpa kamu pikir saat itu bahwa aku harusnya adalah cita cita yang
akan menjadi masa depan mu juga yang harus kamu perjuangkan.
Jenuhku datang dan bukan hanya sesekali, tetapi berulang kali. Aku benar
benar tertatih menghadapi ini. Komunikasi kita yang mulai berkurang
adalah awal logika ku terlalu dominan bermain untuk hubungan ini.
Logika ku yang selalu bermain, “apakah mungkin ini bisa berjalan
di tengah jarak yang tidak tahu ujungnya?” Tapi perasaan ku selalu
berkata, “sayang ku dari dulu sampai sekarang tidak pernah berkurang
untukmu”. Entahlah, saat itu waktu ku untuk ada di tengah
persimpangan. Kini, kamu membuat persimpangan itu berakhir, terlihat jelas dan
nyata.
Tak apa sayang, aku
hanya perlu membiasakan diri menjadi wanita mandiri tanpa iming iming kamu yang
selalu ada.
***
“Dan akhirnya saat ini, maafkan aku yang telah membuat hubungan ini
menggantung tidak jelas. Saat ku bilang hubungan ini berlanjut pun tidak.
Saat ku bilang hubungan ini pun selesai, hati ini tak rela, karna perasaanku
masih sama untukmu. Aku masih mencintaimu. Entahlah,
aku tak bisa menjawabnya, saat ini aku hanya bisa menyebutmu dalam doa-doa ku.
Biar kita lihat “apa yang Tuhan mau untuk hubungan
kita”. Sekali lagi, maafkan aku sayang. Maafkan aku yang kalah
dengan jarak.”
Pesan terakhir yang
kamu kirimkan sebelum kepergianmu membuatku kembali bergetar menahan tangis.
Akupun mencintaimu.
Berbahagialah dengan impianmu, bahwa kamu akan tetap ada dalam setiap
doa-doaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar