With love,
Abi
Sudah ribuan kali aku menerima pesan seperti itu dan kali ini aku sudah benar-benar muak. Aku menekan tombol delete pada pesan yang tertera di handphone milikku dan memasukkanya kedalam tas. Sekali lagi aku melirik penampilanku pada pantulan cermin yang ada di depan dan memastikan semuanya masih baik-baik saja.
"Mau kemana Ra ?"
Nuna-sahabatku- yang memang tinggal satu rumah denganku mengamati
penampilanku malam ini dari atas sampai bawah. "Ngedate lagi ?" Kemudian ia memutari tempat di mana aku berdiri. "Kamu mau pergi dengan siapa lagi sekarang?" tanyanya menyelidik.
Aku duduk di tepi ranjang menunggu pesan konfirmasi dari Nuga jika ia telah sampai. "Well,
gue nggak mau berantem lagi sama lo ya Na", ucapku singkat. Kami memang
bersahabat, namun tak jarang sifatku yang keras kepala membuat kami
sering bertengkar dan berakhir makan malam di kamar masing-masing hari
itu.
Ia menghampiriku dan duduk disebelahku. "Abi nggak ada hubungin kamu?" tanyanya kemudian.
Aku menghela napas panjang, merasa jengkel dengan pertanyaan Nuna saat itu. "Lo jangan ngerusak mood gue dengan ngomongin orang itu deh Na-".
"Aku nggak
bermaksud kayak gitu Noura. Kita sama-sama tau, kamu masih berstatus
pacarnya Abi, tapi udah beberapa malam ini aku lihat kamu jalan sama
cowok lain terus", ia menatapku. "Abi tau tentang ini?"
Aku tertawa mendengar pertanyaan Nuna. "Dia
jauh ini Na, jadi apapun yang gue lakukan di sini dia pasti gak akan
tau. Dan juga pada akhirnya, apa hal ini jadi masalah buat dia?"
"Kok kamu ngomongnya gitu sih ? Abi pasti kecewa berat liat kamu kayak gini Na-".
Aku segera menyahut. "Well.
Oke dia kecewa. Tapi apa dia pernah mikir gimana gue kecewa tiap kali
dia membatalkan kepulangan dia hanya demi kerjaan dia di sana ? Bahkan
hanya untuk satu bulan sekali aja dia nggak bisa kesini buat ketemu gue
Na", aku berjalan menuju meja rias untuk mengambil tissu yang ada
disana. Membicarakan hal ini benar-benar membuat dadaku sesak. "Oke dia
kecewa. Tapi apa dia tau gimana kecewanya gue waktu gue bela-belain
datang ke Lombok sana cuman buat ketemu dia, ternyata nggak bisa
walaupun satu jam aja dia meluangkan waktunya buat gue? Ha? " Aku
menyeka butir-butir air mataku yang mendadak ingin keluar.
Aku memeriksa pesan
Nuga yang ternyata ia sudah sampai. "Gue pulang agak malem, gue bawa
kunci jadi lo tidur duluan aja", ucapku singkat mengakhiri pembicaraan
dengan Nuna.
"Ra.. Noura.."
Nuna menyusulku namun aku segera masuk kedalam mobil Nuga.
Abi. Wajah
laki-laki itu bermain-main dengan jelas dalam otakku selama perjalananku
dengan Nuga. Nuga berceloteh apa, aku tidak benar-benar
mendengarkannya. Hubungan ini sudah terlalu sulit untukku. Pacaran
selama delapan tahun dengan Abi tidak membuatku merasa nyaman menjalani
hubungan jarak jauh yang sudah kami jalani selama satu tahun ini.
Memang, awalnya aku merasa jika hubungan jarak jauh ini akan membuat
rasa cintaku pada Abi akan bertambah. Kami saling memendam rindu satu
sama lain dan pertemuan kami akan terasa lebih manis karena kerinduan
yang sudah tersimpan lama akan segera terlampiaskan. Kata orang yang
mengamini hubungan jarak jauh hal itu akan terasa indah. Aku percaya,
awalnya. Namun Abi lah yang membuatku tidak percaya akan hal itu,
padahal ia orang yang dengan teguh meyakinkan aku bahwa aku-kami- akan
bisa melewati hubungan ini.
"Jadi Ra,
sebenarnya aku suka sama kamu.. Kamu mau nggak jadi pacar aku?" Aku
kembali ke alam sadar dan mendengar kalimat terakhir yang diucapkan
Nuga.
"Nggak ada alasan
buat gue nggak nerima lo Nug", jawabku dengan senyuman pasti. Nuga
meraih tanganku dan jari mungil milikku berada di dalam genggamannya. Seperti ini terasa lebih indah Abi, batinku.
***
"Apa? Kamu nerima
Nuga Ra?" Nuna adalah orang pertama yang pastinya sangat kaget mendengar
pengakuanku keesokan harinya. Untung saja ini weekend, jadi aku akan
siap meladeni setiap ucapan, bantahan yang akan ia ucapkan.
Aku mengangguk sambil menyeruput orange juice milikku.
"Gue udah ngira lo bakal bilang gue gila or whatever", aku mengaduk-aduk minumanku. "Tapi Na, lo mungkin gak bisa ngerti apa yang gue rasain sekarang. Gue udah muak sama Abi, sama hubungan kami-".
"Tapi nggak kayak gitu juga kali Ra, lo tau kan Abi kerja disana dan dia pasti sibuk."
Aku tersenyum sinis mendengar pernyataan Noura. "Lo tau darimana disana dia sibuk kerja ? Bisa jadi dia juga lagi mesra-mesraan sama cewek lain, rekan kerjanya atau siapa lah. Dan lagi lo tau kan Na gue tipe orang yang kayak gimana, gue pengen pasangan gue selalu ada buat gue dan gue nggak betah dengan hubungan kayak gini", ucapku datar.
"Pertama, sejak kapan lo jadi negative thinking kayak gitu ? Dan kedua lo nggak bisa dong ngikutin kekeras kepalaan lo itu, Abi punya kehidupan dan gue yakin Abi ngelakuin itu juga buat lo Noura", Nuna berusaha meyakinkanku.
Aku berdehem. "Lo tau nggak sih betapa kecewanya waktu gue nyusulin dia ke Lombok sana hanya supaya bisa ketemu sama dia tapi cuma satu jam aja waktu yang gue minta dia nggak bisa menuhin? Waktu gue ulang tahun, waktu aniversary kita, dan banyak lagi kekecewaan yang dia bikin. Bahkan gue sangsi, mungkin gue udah berada di nomor kesekian dari hal penting yang ada dihidupnya." Memang dasar aku cengeng, membicarakan masalah ini selalu saja menciptakan bulir bulir hangat dimataku. Entah perasaan macam apa ini, tapi aku mulai meragukan Abi, aku mulai meragukan hubungan kami. Membayangkan waktu delapan tahun yang kuhabiskan bersama dia akan berakhir sia-sia sungguh membuat hatiku seperti diremas.
"Dan lo berniat mengakhiri semua ini dengan Nuga ?" tanya Nuna seperti bisa membaca pikiranku. Aku menoleh kearahnya lalu menggeleng, hampa.
"Jadi lelaki seperti apa sih yang berhasil merebut hati pacar aku ini?" seseorang bernama Abi berjalan dari arah pintu membawa sebuket bunga mawar yang masih segar. Aku tertegun.
"A-Abi ? Sejak kapan kamu ?" tanyaku. Nuna tampak kaget sama sepertiku.
"Cukup lama untuk mendengar pacarku ini menemukan lelaki bernama Nuga", ucapnya lalu duduk tepat disebelahku, ia tersenyum.
Abi menggenggam tanganku. "Noura, aku minta maaf selama ini sering buat kamu kecewa. Aku minta maaf sering mengabaikan kamu. Tapi semua yang ada dipikiran kamu tadi itu semua nggak ada satupun yang bener, sayang", ia membelai lembut rambutku. "Aku nggak pernah ada main sama cewek Lombok, yang demi apapun lebih cantik kamu kemana-mana". Aku tersipu mendengarnya. "Dan kamu masih tetap jadi yang nomer satu di kehidupan aku setelah keluarga aku Noura." Ia mengeratkan genggamannya.
Tiba-tiba Abi berdiri lalu kemudian berlutut tepat dihadapanku. "Noura sayang, aku nggak mau hal kayak gini terjadi lagi. Aku nggak mau hal kayak gini bikin kamu mencari Nuga Nuga lain diluar sana", ia mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil dari saku kemejanya. "Will you marry me ?"
Aku kaget tidak menyangka ia akan melamarku setelah mendengarkan apa yang telah ku lakukan. Aku menggeleng tidak percaya. "Tapi Bi, kamu tadi dengar masalah Nuga kan ? Kamu nggak marah ?" tanyaku hati-hati.
Abi tersenyum. "Aku yakin laki-laki bernama Nuga itu tidak lebih baik dari aku sayang dan aku yakin laki-laki itu tidak lebih kamu cintai daripada aku." Abi mengecup tanganku. "Aku nggak pernah sangsi dengan cinta kamu ke aku Ra", ucapnya lembut.
Hatiku berdebar, mataku panas, kutatap lelaki dihadapanku ini dan menemukan jawaban atas keraguan yang selama ini ada dalam pikiranku. Ternyata hanya dia yang aku butuhkan.
"Satu lagi untuk menghilangkan semua keraguan kamu, aku udah mengajukan surat permohonan pindah kerja kembali ke Jakarta. Jadi aku akan selalu bisa menemani kamu kapanpun itu Ra", ucapnya dan langsung kusambut dengan pelukan. Aku menangis, tangisan bahagia.
"Aku mau Bi, aku mau..", gumamku dari balik bahunya.
Ia menyematkan cincin itu di jari manisku, aku tersenyum. Nyatanya Abi benar-benar memenuhi janjinya, Ia membuat semuanya jauh lebih indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar