Label

Selasa, 08 November 2016

Bimbang

Aku menatap kosong ke arah lapangan basket. Aku tengah menunggui Raya, sahabatku yang sedang menyelesaikan kuliah siang hari ini. Di tanganku ada segelas cappuccino ice yang telah meleleh. Ya, meleleh, melebur menjadi es. Sama seperti hatiku saat ini.

“Cemberut aja lo Gi,” Seseorang dari belakang mengejutkanku, ternyata Raya telah selesai dengan kuliah statistika dasarnya hari itu. Aku hanya tersenyum.


Finally Sas, keputusanku sudah bulat. I did it, I ended up with him,” ucapku sambil terus menatap lurus kearah lapangan basket kampus yang siang hari itu terlihat lengang.

Seriously?” Saski tampak terkejut mendengar pengakuanku. Maklum, hubungan yang ku jalani dengan Farzi baru seumur jagung, 3 bulan. Rekor pacaran tercepatku selama ini.

Aku hanya bisa mengangguk lemah.

“Kamu itu kenapa sih Gi? Kamu maunya apa? Kemarin kamu putusin Reza karena Firza, sekarang giliran kamu udah sama Firza, malah kamu putusin dia.” Raya geleng-geleng kepala. Ia sangat menyayangkan keputusanku. Tapi mau bagaimana lagi? Bagaimana bisa kamu bertahan dengan seseorang yang kamu masih belum merasa yakin dengan itu? Walaupun sebelumnya, sebelum kamu mendapatkannya, kamu begitu penasaran dengan itu, tetapi ketika kamu telah meraihnya, nyatanya kamu merasa hal itu bukanlah yang kamu inginkan, jauh sekali bukan seperti yang kamu harapkan. Lalu kamu bisa apa? Bertahan dengan kepalsuan yang akan terus kamu berikan atau jujur walau itu menyakitkan?

Jahat. Hanya satu kata itu yang bisa menggambarkan bagaimana keadaan diriku saat ini. Aku merasa jadi orang paling jahat sedunia. Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, aku telah menyakiti dua makhluk Tuhan yang paling baik. Aku telah menyakiti dua makhluk Tuhan yang nyatanya, mereka sama-sama menyayangiku. Lantas, apa balasan yang aku berikan untuk mereka?

“Aku jahat ya Ray. Aku kayak gak punya hati gitu." Aku tertawa hambar. Menertawakan diriku sendiri, lebih tepatnya.

“Kamu sama Reza gak cocok, sama Firza gitu juga. Terus kamu mau nyari yang kayak gimana? Atau ini semua malah gara-gara Reza?” Raya seakan tersadar akan sesuatu. “Gi, please jangan bilang sekarang kamu malah ngarepin Reza balik lagi sama kamu?”

Aku hanya bisa mengangkat bahu, lalu tertawa. Lagi-lagi menertawakan sikapku yang seperti ini. Aku tidak tahu sejak kapan ini bermula. Aku tidak tau bagaimana bisa aku merasa ‘jatuh cinta’ dengan Firza ketika aku masih bersama Reza. Aku tidak tau bagaimana kemudian aku menyakiti Reza, dan berlari ke arah Firza. Lalu setelah aku bersama Firza, aku merasa Reza-lah yang nyatanya aku rindukan.

Sinting.

Bukan aku tidak menyayangi Firza. Sama sekali bukan. Aku hanya merasa tidak sanggup berjalan bersama Firza, tetapi aku merindukan Reza. Dan aku juga tidak bisa berjalan bersama Reza, yang pada nyatanya Firza lah yang aku inginkan.

“Gi, jangan hopeless gitu lah.” Raya memelukku, ia mengerti bagaimana aku putus asa dengan hatiku saat ini. Aku saja tidak bisa memahami bagaimana hatiku yang sebenarnya, bagaimana orang lain akan bisa melakukannya.

“Menurutku, kamu perlu nenangin diri dulu dari semuanya. Nggak ada Firza, juga Reza. Kamu harus netralin hati kamu Gi. Kamu itu masih terjebak sama bayang-bayang. Bayang-bayang Reza dan bayang-bayang Firza.” Raya menatapku, memaksaku mengerti kebenaran yang memang benar ia ucapkan.

“Kamu nggak bisa memiliki keduanya Gi, nggak bisa,” tegasnya sekali lagi.

‘Kamu nggak bisa memiliki keduanya’, kata-kata itu terus terngiang ditelingaku. Ya, memang itulah keegoisan tertinggi yang saat ini sedang menggerogoti hatiku.

Keegoisan itu harus dibayar dengan luka hati yang berarti aku harus melepaskan keduanya. Mungkin Reza dan Firza akan sama-sama tersakiti olehku. Tetapi sungguh, benar-benar dalam hatiku, aku merasakan sakit yang luar biasa pula.

Sesungguhnya cinta adalah melepaskan dan merelakan. Membiarkan dan mengikhlaskan. Tidak bisa memaksakan dua hal yang berlawanan menjadi satu hal yang indah.
Tidak bisa memiliki dan menyakiti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar