Aku menatap kosong ke arah
lapangan basket. Aku tengah menunggui Raya, sahabatku yang sedang menyelesaikan
kuliah siang hari ini. Di tanganku ada segelas cappuccino ice yang telah
meleleh. Ya, meleleh, melebur menjadi es. Sama seperti hatiku saat ini.
“Cemberut aja lo Gi,” Seseorang dari belakang mengejutkanku, ternyata Raya telah selesai dengan
kuliah statistika dasarnya hari itu. Aku hanya tersenyum.
“Finally Sas, keputusanku
sudah bulat. I did it, I ended up with him,” ucapku sambil terus menatap lurus
kearah lapangan basket kampus yang siang hari itu terlihat lengang.
“Seriously?” Saski tampak
terkejut mendengar pengakuanku. Maklum, hubungan yang ku jalani dengan Farzi
baru seumur jagung, 3 bulan. Rekor pacaran tercepatku selama ini.
Aku hanya bisa mengangguk
lemah.
“Kamu itu kenapa sih Gi?
Kamu maunya apa? Kemarin kamu putusin Reza karena Firza, sekarang giliran kamu
udah sama Firza, malah kamu putusin dia.” Raya geleng-geleng kepala. Ia sangat
menyayangkan keputusanku. Tapi mau bagaimana lagi? Bagaimana bisa kamu
bertahan dengan seseorang yang kamu masih belum merasa yakin dengan itu?
Walaupun sebelumnya, sebelum kamu mendapatkannya, kamu begitu penasaran dengan
itu, tetapi ketika kamu telah meraihnya, nyatanya kamu merasa hal itu bukanlah
yang kamu inginkan, jauh sekali bukan seperti yang kamu harapkan. Lalu kamu
bisa apa? Bertahan dengan kepalsuan yang akan terus kamu berikan atau jujur
walau itu menyakitkan?
Jahat. Hanya satu kata itu
yang bisa menggambarkan bagaimana keadaan diriku saat ini. Aku merasa jadi
orang paling jahat sedunia. Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, aku telah
menyakiti dua makhluk Tuhan yang paling baik. Aku telah menyakiti dua makhluk
Tuhan yang nyatanya, mereka sama-sama menyayangiku. Lantas, apa balasan yang
aku berikan untuk mereka?
“Aku jahat ya Ray. Aku
kayak gak punya hati gitu." Aku tertawa hambar. Menertawakan diriku sendiri,
lebih tepatnya.
“Kamu sama Reza gak cocok,
sama Firza gitu juga. Terus kamu mau nyari yang kayak gimana? Atau ini semua
malah gara-gara Reza?” Raya seakan tersadar akan sesuatu. “Gi, please jangan
bilang sekarang kamu malah ngarepin Reza balik lagi sama kamu?”
Aku hanya bisa mengangkat
bahu, lalu tertawa. Lagi-lagi menertawakan sikapku yang seperti ini. Aku tidak
tahu sejak kapan ini bermula. Aku tidak tau bagaimana bisa aku merasa ‘jatuh
cinta’ dengan Firza ketika aku masih bersama Reza. Aku tidak tau bagaimana
kemudian aku menyakiti Reza, dan berlari ke arah Firza. Lalu setelah aku
bersama Firza, aku merasa Reza-lah yang nyatanya aku rindukan.
Sinting.
Bukan aku tidak menyayangi
Firza. Sama sekali bukan. Aku hanya merasa tidak sanggup berjalan bersama
Firza, tetapi aku merindukan Reza. Dan aku juga tidak bisa berjalan bersama
Reza, yang pada nyatanya Firza lah yang aku inginkan.
“Gi, jangan hopeless gitu
lah.” Raya memelukku, ia mengerti bagaimana aku putus asa dengan hatiku saat
ini. Aku saja tidak bisa memahami bagaimana hatiku yang sebenarnya, bagaimana
orang lain akan bisa melakukannya.
“Menurutku, kamu perlu
nenangin diri dulu dari semuanya. Nggak ada Firza, juga Reza. Kamu harus
netralin hati kamu Gi. Kamu itu masih terjebak sama bayang-bayang.
Bayang-bayang Reza dan bayang-bayang Firza.” Raya menatapku, memaksaku mengerti
kebenaran yang memang benar ia ucapkan.
“Kamu nggak bisa memiliki
keduanya Gi, nggak bisa,” tegasnya sekali lagi.
‘Kamu nggak bisa memiliki
keduanya’, kata-kata itu terus terngiang ditelingaku. Ya, memang itulah
keegoisan tertinggi yang saat ini sedang menggerogoti hatiku.
Keegoisan itu harus
dibayar dengan luka hati yang berarti aku harus melepaskan keduanya. Mungkin
Reza dan Firza akan sama-sama tersakiti olehku. Tetapi sungguh, benar-benar
dalam hatiku, aku merasakan sakit yang luar biasa pula.
Sesungguhnya cinta adalah
melepaskan dan merelakan. Membiarkan dan mengikhlaskan. Tidak bisa memaksakan
dua hal yang berlawanan menjadi satu hal yang indah.
Tidak bisa memiliki dan
menyakiti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar